Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa


“Apa kamu sudah mantap?”
“Ya mantap lah...”
“Yakin?”
“Yakin dong...”

Sejujurnya saya masih penasaran dengan keputusannya ketika mendengar jawaban tersebut, jangankan orang lain, orang tuanya sendiri saja merasa tidak yakin dengan apa yang diinginkannya. Namun, dari sekian orang yang mendengar berita tersebut, embahnya lah yang paling uring-uringan. Pasalnya, di mata beliau berdua, dia masihlah anak kecil yang sering merengek minta dibelikan jajan di warung sebelah rumah. Anak kemarin sore yang kencing saja masih belum bisa lurus sudah punya keinginan sebesar  itu, pikir saya.

Kala itu saya di telpon oleh embah utinya (ibu saya sendiri .red) seminggu sebelum lebaran. Dengan nada agak sedikit gugup beliau bicara ke saya.

“Fif, si Syafa...”

“Syafa kenapa?”

“Tadi siang kan bapak jemput dia di rumahnya, tiba-tiba kok ngomong begini, “mbah, habis lebaran Syafa mau sunat, tapi sunatnya di rumah embah ya?””

“Apa dia serius?”, tanya saya penasaran.

“Iya katanya serius mau sunat tapi harus di rumah embah”

Dan perbincangan kami berlanjut panjang lebar hingga masalah anggaran biaya.

***

H-4 lebaran saya sudah tiba di rumah setelah melakukan perjalanan 2,5 jam di udara dan 3 jam di darat. Perjalanan udara saya tempuh lebih lama karena dari Pontianak harus transit terlebih dahulu di Surabaya baru setelah itu lanjut ke Jogja. Dari Jogja kemudian menggunakan bus menuju Gombong. Selepas maghrib saya baru tiba di rumah.
Yap, sampai di depan pintu rumah keponakan-keponakan sudah menyambut. Tentu saja rasanya sangat bahagia karena mereka semua sudah berkumpul lengkap. Syafa, Syifa, Adib, Hasna, Latifah, Sofi, Dzuhri, dan.....What? Keponakan yang paling kecil, yang rasanya baru kemarin lahir, sekarang sudah bisa berlari-larian!! Ah, betapa waktu menggulung sebegitu cepatnya, dia si Fauzan.

“Kemarilah nak, lilik ingin menggendongmu....”

Mulai hari itu dan sepuluh hari kedepan, hari-hari saya diisi oleh mereka-mereka.

***

“Lik, ayo jalan-jalan....”, dengan nada manja dan nglendat-nglendot Syifa membujuk saya.

“Iya lik, ayo jalan-jalan....”, Latifah mulai memanas-manasi.

“Iya, ayo jalan-jalan lik...”, Sofi mulai ikut campur.

“Ayo lik, ayo lik, ayo lik....”, Hasna menyeret-nyeret tangan saya.

“Lik lah, ayo lik, lik...lik...ayo!!”, dan Syafa memaksa.

“Mampus aku....”, saya membatin dalam hati. Seperti mereka sudah menyiapkan rencana dengan matang untuk menyambut Om-nya.

“Mau jalan-jalan kemana?”

“Kita renang ke BSC, habis renang kita makan Mie Ayam di Monggo Mampir, terus pulangnya kita mampir ke Indomaret beli Ice Cream...oya, besoknya kita ke Martha Tilaar!”

“Emang BSC buka?”, saya mulai ngeles.

“Buka kok, kemarin aku habis lewat sana....”

Baiklah satu alasan telah terpatahkan.

“Monggo Mampir kalau pas lebaran begini kan rame, pas kita ke sana pasti udah habis....”

“Ya kita ke Monggo Mampir dulu habis itu baru ke BSC”

Ah mereka memang selalu saja punya pernyataan untuk mematahkan alasan saya demi memuluskan keinginannya.

***

H+2 lebaran adalah hari yang dinanti-nanti, khususnya oleh Syafa. Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Namun, saya tidak menangkap raut wajah was-was maupun cemas, justru yang saya tangkap adalah besarnya tekad yang melebihi sosok tubuhnya. Hari itu akan selalu dikenang sepanjang hidupnya sebagai sebuah tragedi, mengikhlaskan sebagian kulitnya untuk di potong dan dibanjiri oleh amplop-amplop, menurutnya amplop itu adalah sebuah imbalan yang pantas untuk membayar kulitnya yang hilang. Dasar anak kecil, pikir saya. (saya dulu juga punya pikiran seperti itu hehe)

"Lik, tahu nggak kenapa aku minta di sunat di rumah embah jauh?", tanya dia seperti ingin menjelaskan.

"Hmm, enggak. Kenapa?"

"Kalo aku sunatnya di rumah kan cuma tentangga aja yang tahu. Tapi kalo sunatnya di rumah embah jauh kan jadi banyak yang kenal sama aku", terang dia.

"Halah, alesanmu aja kali biar dapat amplop banyak, ya kan?", saya menyindir.

"Ya enggak lah...aku sunatnya tetep di rumah embah jauh, nanti embah deket sama pakdhe Udin yang datang ke sini. Jadi biar mereka pada tahu rumah embah jauh"

"Mereka rombongan?"

"Iya, nanti pada ke sini semua"

**
Embah deket : Embah dari ibunya. Mereka menyebutnya embah deket karena rumah embahnya tidak jauh dari rumah mereka.
Embah jauh : Embah dari ayahnya. Disebut embah jauh karena rumahnya lebih jauh dari embah deket.
Pakdhe Udin : Kakak ibunya. Beliau kebetulan seorang dokter, jadi beliau yang menyunatinya.

Saya pribadi tentu saja merasa bangga sekaligus sedih. Bangga karena dia telah melewati satu tahap dalam hidupnya dengan dikelilingi oleh orang-orang terkasih. Bangga karena ikut menyaksikan bagaimana dia tumbuh hingga sampai sekarang ini. Dan sedih karena dia akan mulai meninggalkan massa kanak-kanaknya untuk beranjak remaja, tentu dia tidak akan se lucu dahulu. Sedih karena merasa akan ditinggalkan olehnya. Dari awal saya selalu berusaha meninggalkan kesan yang baik baginya, karena sebuah harapan bahwa suatu saat saya akan dikenang olehnya sebagai paman yang baik, setidaknya.


“Nak, mulai saat ini dan ke depan, kamu akan melewati sebuah proses yang lebih kompleks, lebih berwarna sekaligus berbahaya. Ibarat kita berjalan di sebuah jalan setapak berkerikil nan licin yang kanan dan kirinya adalah jurang. Jika kamu ingin selamat sampai dengan pos pemberhentian, maka ingatlah beberapa hal. Patuhlah pada ayah ibumu dan bekali dirimu dengan ilmu. Suatu saat kamu akan menyadari, bahwa tidak ada yang lebih sayang kepadamu selain keduanya dan dengan bekal ilmu semua cita-cita akan lebih mudah kau raih.”  






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyapa Gede-Pangrango (catper part 4)

Untuk Sebuah Nama