Coretan malam

Jogja, 5 Maret 2012
23.25 WIB

Secangkir susu full cream hangat dan sebungkus biscuit coklat menemaniku mengisi malam ini. Udara di luar sana tampak dingin setelah gerimis belum lama reda, sementara suasana kian meredup ditelan sepi yang mulai beranjak. Hembus angin laminer sesekali menyingsing pada telinga, memberitakan bahwa waktu sudah beranjak larut. Hanya aku seorang yang masih terjaga, sedangkan penghuni lainya telah jauh menuju alam mimpi. Tersisa sepi di kamar ini.

Aku suka sepi,
Aku suka hening,
Aku suka senyap,

Jika ditanya kenapa demikian, jawabku enteng saja, aku bisa lebih tenang.
Mungkin karena lebih dari setengah masa terjagaku sudah terlalu banyak suara gaduh yang melelahkan otakku, atau karena memang aku sendiri adalah orang yang tidak suka keramaian.

Lepas dari itu semua, terkadang dari sepi aku bisa merefleksikan diri, dari hening aku bisa mengoreksi diri, dan dari senyap aku menyusun langkah-langkah. Harapannya, ketika aku kembali pada “keramaian”, aku sudah menjadi gelas kosong.


Sepi mampu membawaku beranjak jauh dari beradaku, dari keterbatasan langkah ketika asa mulai lepas satu demi satu. Mengantarkan hati untuk mencoba lebih besar menerima keadaan. Membawa pikiran untuk lebih tenang menghadapi persoalan. Menghadirkan bayangan ketika aku kehilangan cermin untuk berkaca diri.
Aku sudah biasa dengan sepi, bahkan jauh sebelum aku meninggalkan rumah. Meskipun sepi bagi sebagian orang sangat dibenci tetapi bagiku sepi bisa menjadi teman yang dengan setia mendengarkan setiap curahan hati. Aku, adalah sesorang introvert yang tidak mudah menceritakan segala hal tentang masalahku kepada orang lain dan cenderung memendamnya sendiri. Kekhawatiranku ketika menceritakan masalahku kepada orang lain justru akan membebani orang tersebut selalu menjadi alasan utama mengapa aku bersikap demikian. 


Bukan berarti aku tidak berusaha untuk mencoba bercerita, namun mencari orang yang tepat itu ternyata sulit. Ibu? aku tidak biasa curhat dengan beliau, aneh memang, padahal sosok ibu bagi sebagian besar orang adalah pilihan terakhir ketika tidak menemukan "tempat". Entahlah, mungkin karena aku saja yang memang "kelewatan", enggan menjadikan ibu sebagai tempat curhat, karena yang ada dipikranku kalau seorang cowok curhat sama ibunya, kesannya menye-menye. Cowok itu harus tegar, harus bisa menjadi sandaran bagi yang lain walaupun dirinya sendiri sedang membutuhkan sandaran.    

Seorang teman lama pernah berkata padaku, “jika kamu tak yakin pada orang lain, ceritakan saja pada sepi yang datang perlahan tentang semua perasaanmu”.


Ya, aku setuju dengannya, aku lebih memilih menanti sepi yang datang dipersimpangan hari. Menyapa tanpa harus berbelas kasih menunggu tanggapan.

Terima kasih untuk sepi. Dan untuk malam yang menghadirkannya.   

Komentar

  1. malam mas afif,, sangar rek,,
    blog'e update terus,, hehe
    tapi postingan iki aku ga dong,, wkwkw

    *kanca KKN :)

    BalasHapus
  2. malam mas iwan,

    ya memang sulit dipahami,
    yang nulis saja binggung dengan tulisannya,
    hehe.

    intinya cuma "meyapa malam".

    sukse terus... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Boleh berkomentar... :)

Postingan populer dari blog ini

Untuk Sebuah Nama

Selesai yang Bukan Akhir