Postingan

Mencari Nama

               Aku sudah menyiapkan sebuah nama untukmu. Tentu saja selain nama, aku dan ibumu telah membeli perlengkapan dan kebutuhan ketika nanti kamu lahir. Tidak semua langsung aku beli, tabunganku belum cukup jika langsung membeli semua perlengkapanmu, masih ada beberapa hal lain yang harus aku siapkan selain dari pada itu. Tak perlu khawatir, ibumu sudah membuat list lengkap apa saja yang perlu. Jika boleh jujur, aku lebih suka jika semua kebutuhan itu mengambil dari tabunganku sendiri   tanpa harus bergantung pada orang lain. Nak, hidup dalam bayang-bayang orang lain itu tidak seenak saat kita mampu berdikari, bersahajalah.        Beberapa hari ini aku mulai mencari referensi nama. Meminta bantuan ke Bapakku untuk memberikan masukan, serta mencari di internet. Aku tidak ingin memberimu sekedar nama tanpa arti, aku ingin memberimu nama yang merangkum doaku, doa ibumu, doa kami. Tapi juga tidak terlalu membanimu dengan kata yang rumit dan arti yang berat. Aku harap kamu t

Pesan Pertama

Gambar
                  Kamu tahu? ibumu kian payah untuk beraktifitas, sekalipun sekedar bermotor untuk berbelanja di depan komplek, pulangnya ia kerap kelelahan. Padahal yang aku tahu, sebelum ada kamu di rahimnya, dia adalah salah satu perempuan kuat dan handal saat bermotor. Ibumu, saat masih kuliah dulu, selalu bermotor dari rumah menuju kampus pulang pergi setiap hari, jaraknya tidak bisa dikatakan dekat bagi ukuran perempuan.  Sepulang kuliah ia tak lantas duduk manis di depan televisi, masih ada urusan lain yang harus ia selesaikan. Dia adalah seorang entrepreneur, menjadi reseller merk jilbab yang saat itu sedang trend. Sepulang kuliah, ibumu acapkali mengantar pesanan jilbab dari para customer, COD istilah kerennya.      Aku melihat lain pada sosok ibumu daripada perempuan sebayanya. Di mataku, ia adalah perempuan mandiri, kuat, dan seorang calon ibu yang baik. Tentu saja sebagai manusia biasa, ada kekurangan pada dirinya dan itu sudah menjadi tugasku untuk mengisi kekuran

Kamu, Petrichor Itu

         Aku baru saja meletakkan tas kerja dan belum sempat mencuci muka ketika ibumu tiba-tiba menghadangku. Aku juga belum mampu menerjemahkan raut mukanya karena pikiranku belum beranjak dari pekerjaan, setelah seminggu terakhir aku harus pulang lebih larut dari biasanya. Rasa lelah masih menggelayut saat dia menarik tanganku agar duduk di sebelahnya. Ada sesuatu yang ingin dikatakan kepadaku dengan segera, tebakku saat itu. Maka akupun diam siap mendengarkan apa yang akan dikatakan. Bukan kalimat yang dia katakan, namun ditunjukannya sebuah benda padaku. Sebuah benda kecil tipis sepanjang jari kelingkingku, ada strip di tengahnya, nampak dua strip merah. Awalnya aku merasa biasa saja karena belum tahu apa artinya. Namun ketika ibumu mengatakan bahwa itu artinya dia hamil, rasa campur aduk seketika muncul, haru dan bahagia, ucapan syukur tak terkira pada Yang Maha Memberi Hidup, Allah swt.      Kamu adalah hujanku dalam tandusnya suasana, petrichor yang memecah hampa.  Kamu a

Untuk Sebuah Nama

Gambar
      Aku telah menceritakan banyak hal kepadamu. Tentangku, tentang duniaku, tentang segala macam hal yang aku rasa perlu aku ceritakan. Tak ada harapan lain kecuali agar engkau memahami darimana aku tumbuh dan dibesarkan,  bagaimana jalan hidupku sebelum ini, bagaimana aku melakukan kebiasaan-kebiasaan, sehingga engkau mampu menerima keberadaanku.        Aku tahu, aku belum melakukan banyak hal, belum membuktikan apapun, sementara di lain sisi engkau harus mempercayakan hidupmu kepadaku, sepenuhnya. Iya, menerima orang asing yang sama sekali belum kita kenal sebelumnya memang sulit, maka aku tidak akan memaksamu. Semuanya butuh waktu, perlu proses panjang untuk mengenal karakter masing-masing. Seperti yang pernah aku katakan padamu, memahami karakter seseorang adalah sebuah proses belajar sepanjang waktu. Maka janganlah lelah untuk terus belajar.  Aku masih ingat dan akan terus mengingatnya, saat pertama kali aku datang menemuimu, rasanya aneh dan kadang menyisakan pertanyaan,

Antara Dua Desember

Desember datang untuk mengingatkan lagi Membawa hujan yang hampir sama ketika pertama kali Dingin yang menusuk dan bias-bias air di kaca jendela Akupun masih, dengan harapan-harapan yang sama Datang dan hilang menghias relung-relung dalam hati Yang datang akan pergi, dan hilang takkan kembali Selalu saja, selalu sama, antara dua Desember Jeda menjadi pembeda sesiapa yang lebih setia Lama perjalanan bukan menjadi ukuran Seberapa jauh langkah dari permulaan Jarak antara bukan menjadi patokan Seberapa dekat dengan tujuan Desember berlalu dan aku masih menunggu

Sepotong Rindu dari Tanah Rantau

     Saya harus tetap menulis, sesibuk apapun. Itu yang pernah saya janjikan pada diri sendiri. Agar tangan ini, paling tidak, mengerti apa yang dirasakan hati. Maka saya tulis ini, dalam kesibukan saya. Ehm, bukan sibuk sebenarnya, hanya saja selama ini ada yang lebih prioritas daripada menulis. Tanggung jawab pekerjaan. Apalagi yang bisa dilakukan untuk 'membunuh' segala rindu selain menenggelamkan diri dalam pekerjaan?       Saat ini tak terasa sudah masuk bulan ke sepuluh saya  berada di tanah rantau. Semestinya sudah ada banyak hal yang bisa saya dapatkan, namun kenyataanya tidak. Selama ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di site office dari pagi hingga malam. Duduk di depan layar komputer atau terjun ke lapangan melihat progress pekerjaan. Jenuh atau bosan tentu saja sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Beruntung di sini teman-teman sebagian besar memiliki hobi yang sama, futsal. Setiap minggu sore, jika tidak ada halangan yang berarti, kami rutin menyalurkan

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

“Apa kamu sudah mantap?” “Ya mantap lah...” “Yakin?” “Yakin dong...” Sejujurnya saya masih penasaran dengan keputusannya ketika mendengar jawaban tersebut, jangankan orang lain, orang tuanya sendiri saja merasa tidak yakin dengan apa yang diinginkannya. Namun, dari sekian orang yang mendengar berita tersebut, embahnya lah yang paling uring-uringan. Pasalnya, di mata beliau berdua, dia masihlah anak kecil yang sering merengek minta dibelikan jajan di warung sebelah rumah. Anak kemarin sore yang kencing saja masih belum bisa lurus sudah punya keinginan sebesar  itu, pikir saya. Kala itu saya di telpon oleh embah utinya (ibu saya sendiri .red) seminggu sebelum lebaran. Dengan nada agak sedikit gugup beliau bicara ke saya. “Fif, si Syafa...” “Syafa kenapa?” “Tadi siang kan bapak jemput dia di rumahnya, tiba-tiba kok ngomong begini, “mbah, habis lebaran Syafa mau sunat, tapi sunatnya di rumah embah ya?”” “Apa dia serius?”, tanya saya penasaran. “Iya kata