Layaknya menanti hujan
Hujan di luar sana masih belum jengah untuk membasahi tanah. Sementara saya dan segelas teh hangat masih setia menunggunya reda. Mungkin untuk beberapa jam ke depan tetes demi tetes air akan terus berjatuhan dari langit walaupun dengan intensitas yang fluktuatif. Itu pun sudah cukup membuat saya lebih memilih membeku di rumah kontrakan mengurungkan niat daripada harus keluar rumah menerobos hujan untuk membeli makan. Biarlah saya tetap menggantungkan rasa lapar kepada hujan.
Hujan, yang kadang dinanti namun kadang juga dibenci, tidak pernah peduli dengan segala sanjung apalagi sumpah serapah dari manusia-manusia. Bahkan dia tidak pernah peduli kepada siapa dia memberi. Bagi saya, hujan banyak memberi inspirasi. Makna akan hujan pun sangat subjektif, tergantung siapa yang menilainya. Bagi para petani, dia menjadi sesuatu yang sangat dinanti namun bagi segelintir orang yang tidak mengharapkan kehadirannya, dia selalu saja dicaci maki. Di satu sisi dia menjadi kebutuhan, namun dilain sisi dia tidak diharapkan.
Satu tema beda cerita, akhir-akhir ini saya melihat pada diri saya sendiri, sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Berbagai macam “iming-iming” dari luar nampaknya telah membuat saya sulit membedakan mana yang datang dari mata dan mana yang datang dari hati.
Apakah ketika saya melihat teman saya membeli gadget baru lantas saya ingin juga membelinya, itu adalah sebuah keinginan atau kebutuhan? Meskipun saya mampu membelinya.
Apakah ketika saya membeli ponsel baru, meskipun ponsel yang sekarang saya miliki masih layak namun karena sudah “tertinggal”, itu adalah sebuah keinginan atau kebutuhan?
Apakah ketika saya yang hanya memiliki sepasang sepatu dari 3 tahun lalu dimana kondisinya masih layak pakai dan nampaknya perlu diganti dengan sepatu yang lebih baru, itu adalah keinginan atau kebutuhan?
***
Waktu saya masih kecil dulu, saya pikir bapak adalah orang yang tidak menyayangi saya, karena setiap apa yang menjadi keinginan saya selalu ditolaknya mentah-mentah. Saya boleh saja terus menangis merengek-rengek meminta sesuatu yang menjadi keinginan saya, bapak dengan sikap dinginnya hanya diam santai seolah tak mempedulikan. Dan sayapun semakin kecewa dengan sikapnya, membanting semua benda yang ada dimeja, menangis sekencang-kencangnya.
Keesokan harinya, saya telah lupa dengan semua benda mainan yang saya tangisi kemarin karena melihat teman main saya membawa sebuah mainan baru yang bru dibelinya. Kali ini saya ingin dibelikan mainan seperti teman tadi, saya pun kembali merengek di depan bapak. Sementara raut wajahnya tetap datar, saya kembali kecewa.
Di lain waktu, ketika saya lulus dari Sekolah Dasar dan akan melanjutkan ke SMP, tanpa ada rengekan-rengekan sebelumnya, sebuah tas gendong dan sepasang sepatu lengkap dengan kaos kakinya telah tergeletak diatas tempat tidur, ketika saya tanya ke ibu darimana semua barang itu, beliau menjawab bahwa kemarin bapak yang membelikannya.
***
Sampai pada akhirnya saya teringat kembali cerita di atas, sebenarnya jawaban atas pertanyaan-pertaannya tadi itu mudah, sangat mudah. Seperti halnya mengharap kehadiran hujan, meskipun mendung telah tampak di atas langit, belum tentu hujan yang saya harapkan akan turun. Dengan tetap memegang prinsip yang telah banyak orang katakan,
"Orang kaya bukanlah dia yang memiliki paling banyak, tetapi adalah dia yang paling sedikit memerlukan sehingga masih sanggup memberi kepada sesama".
"Tuhan tidak selalu memberi apa yang hambanya inginkan, tetapi Tuhan memberikan apa yang dia butuhkan".

Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)