22 Desember

     Seringkali saat-saat di mana saya telah merasa lelah dan siap untuk segera memejamkan mata menuju ke alam bawah sadar, saat itulah semua hal yang terekam memori otak kembali terurai dan muncul ke permukaan, seolah membayang di kelopak mata atas apa yang pernah saya alami sore tadi, siangnya, paginya, atau bahkan hal yang terjadi kemarin. Tentang tadi sore saat tak sabar menunggu selesainya jam kuliah sehingga materi yang disampaikan dosen tak lagi terdengar seksi, tentang tadi siang saat khotib shalat jumat menyampaikan ceramahnya dan saya dengan duduk bersila mendengarkan dengan khidmat, sampai-sampai saking khidmatnya saya mendengarkan materi ceramah, seolah khotib menyampaikan dari dimensi dan alam yang berbeda. Dan benar saja, ternyata pikiran saya lah yang sebenarnya beralih ke dimensi lain, saya tertidur. Namun dari semua cerita feedback tadi, waktu kemarin lah hal paling saya ingat dengan betul. Saat teman saya menyampaikan sebuah pernyataan yang dilanjutkan dengan pertanyaan pada saya. 

"Pip, saiki hari ibu lho.... kowe wis ngucapke kanggo ibukmu durung e?" (Pip, sekarang hari ibu lho...kamu udah ngucapin ke ibumu belum?), 
   
"Wah, ho'oh to?", saya menimpali berlagak tidak tahu.

"Piye to, ho'oh lah pip...", tandas dia untuk meyakinkan saya.

"Kowe dewe wes ngucapke?", saya balik bertanya.

"Sudah dunk boy....", jawabnya mantap.

     Lantas saya diam tak melanjutkan percakapan. Sesaat muncul sosok ibu saya dalam bayangan. Saya berkata dalam hati saya sendiri, bahkan untuk hal semacam itu saja saya tidak pernah mengucapkan langsung kepada ibu. Bukan karena merasa gengsi, bukan juga karena saya tidak peduli dengan hal semacam itu. Mungkin bagi orang lain akan menganggap bahwa saya adalah orang yang tidak bisa menghargai seorang ibu, atau jika ada yang memiliki pikiran lebih ekstrim mungkin akan menganggap bahwa saya adalah orang yang tidak mencintai ibu saya sendiri. 

     Bagi saya sendiri makna hari ibu yang kemarin (tanggal 22 Desember) diperingati oleh sebagian besar orang Indonesia tidak lebih hanyalah peringatan Kongres Perempuan Indonesia yang dulu diadakan di gedung Dalem Jayadipuran yang pada akhirnya disebut Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Sebuah simbolisasi akan pentingnya peran seorang wanita bagi bangsa Indonesia.

     Ibu di mata saya bukan hanya sebuah simbol wanita tangguh Indonesia yang harus diberi ucapan terima kasih atas jasa-jasanya hanya setiap tanggal 22 Desember saja. Penghormatan yang saya berikan tidak sebatas pada hal semacam itu. Meskipun saya berbeda dari teman saya tadi (atau bahkan kebanyakan orang), itu tidak berarti saya tidak mencintai sosok ibu yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Ibu, bagi saya, adalah sosok yang tidak tergantikan. Tidak ada yang bisa menggatikan air susunya, tidak pernah ada yang seperti tangannya saat menggendong saya. 

      Ucapan terima kasih yang mungkin pantas untuk beliau hanyalah sebait doa yang selalu saya mohonkan setiap kali selesai menjalankan shalat, 
Semoga Allah senantiasa menyayangi dan mengampuni dosa-dosa beliau. 


Persembahan spesial untuk ibu, sebuah pembenaran bahwa saya sangat mencintainya.


Kamar gelap 3x3. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu