Hanya Luapan Rasa

Lembaran-lembaran putih tergeletak berserakan di atas karpet hijau kamar. Sementara torehan-torehan toner mesin cetak duplikasi berjejalan memenuhi halamannya. Berbagai jenis font alami seolah membentuk lukisan abstrak tanpa rupa membuat sorot mata yang mulanya tajam kini kian pudar, mengendur, dan sampai pada akhirnya redup. Baris judul yang tercetak tebal di halaman itu tak lagi mampu menggugah semangatnya. Ia lesu dan pucat, raut wajahnya mencirikan seperti orang yang telah meyerah dalam perang. Pasrah dan tak lagi ada daya upaya yang tersisa. 

Hatinya mulai resah, beban berat tertancap di pundak. Malam ini ia harus menguasai sedemikian banyak rumus dan hafalan. Namun di lain sisi, memory otak sedang tak bisa melakukan transmisi, jadi bagaimanpun dan dengan cara apapun, bertubi materi tidak mampunnya ia simpan. Kepalanya tertunduk, hela nafasnya menjadi panjang, dan matanya terpejam. Dalam hati ia berucap kepada sang Maha Terang pemberi kemudahan, memohon kelapangan atas himpitan yang menyiksanya. Dan, perlahan ia mulai menengadah, matanya kembali berbinar, dan hatinya kembali bergetar, ia telah serahkan semua urusan kepada Zat yang ia puja.

Di lain sisi, mereka juga tengah sibuk menyiapkan diri, mengeja hafalan, membuka program miliknya dan kemudian memberi input tentang apa yang telah mereka eja. Hampir seirama dengan ia, namun berbeda tangga nada. Jika "parsah" yang hanya bisa ia lakukan, mereka begitu bersemangat untuk melanjutkan perjuangan tak kenal "batas". Mereka sangatlah gagah berani menembus batas-batasan ini. Ketika ia tak sampai hati melawan aturanNya, mereka perkasa menerobosnya. 

Dan siapapun orangnya pasti mengiginkan hasil akhir yang menyenangkan, indah dan penuh dengan pujian. Bagi mereka hal itu hampir menjadi sebuah kepastian. Sementara ia, dengan hati yang masih berharap-harap cemas, menunggu hasil akhir yang masih samar. Baginya, kepastian adalah mutlak milik sang Maha Berkehendak. Jikapun hanya kekecewaan yang terjadi pada akhir cerita, maka ia berusaha untuk lebih lapang dada. Dengan kepasrahan yang ia berikan, jauh di lubuk hatinya ia menyimpan harapan. Dengan keyakinan yang ia pegang untuk tidak melompati "batas", Tuhan mau bermurah hati memelas dirinya. Kalaupun harus "nanti" di lain semesta, ia tetap menerima. 


.:hanya luapan rasa:.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu