Pesta demokrasi kampus biru
Layar monitor masih setia menghiburku, kami tepatnya, karena disebelahku masih ada satu orang lagi, Wasrif, teman satu jurusan yang sedang main ke kontrakan, sebenarnya tujuan utamanya mengembalikan KTM yang kemarin dia pinjem sebagai syarat pencalonan diri temannya, Fallery (teman satu jurusanku juga) yang maju memperebutkan kursi Ketua BEM Fakultasku. Global TV sedang memutar film bagus, GOAL 2, tentang seorang Santiago Munez yang sedang mewujudkan impiannya di club raksasa Los Blancos, Real Madrid. Kami menikmati dengan seksama, seolah tak igin kehilangan satu fase pun dari alurnya. Sesaat perhatian kami terpecah ketika Chandra (teman satu kontrakan) membuka pintu dan mengucapkan salam, raut mukannya pucat dan tubuhnya lemas mengendur.
Wasrif coba menghiburnya dengan sesekali mencari jawaban atas apa yang telah terjadi padanya. Aku hanya duduk diam, karena sudah tahu jawabannya meskipun tak ada kalimat tanya yang terlontar dari mulutku. Karena hampir setiap malam menunjukkan ekspresi yang sama, aku memakluminya. Aktifis kampus, seorang Ketua Departemen Advokasi di Fakultasnya yang sedang mencalonkan diri sebagai Ketua BEM Fakultas, itulah Chandra.
"gimana pakdhe pemilihannya? sudah siap untuk pengumunan besok pagi?", aku membuka pertanyaan.
"Insha Allah om, apapun hasilnya tak tompo dengan lapang dada",
"ya baguslah kalo begitu, ono planning liyo ra e nek seumpama pil pahit yang harus ditelan?", tanyaku lagi.
"BEM KM siap menampungku om, mudah-mudahan",
"owh, ya sukurlah..", aku sedikit lega mendengar jawabannya, paling tidak masih ada plan B untuknya. Organisasi yang lebih bergengsi ternyata siap menerimanya.
Besok adalah hari pengumuman hasil pemungutan suara, ada 3 calon yang saling bertarung berebut dukungan, dia salah satunnya. Dengan track record yang dimiliki sejak aku mengenal dia di SMP, SMA, hingga sekarang, aku yakin dia mampu untuk mengemban amanah itu. Dan kalaupun hasil pahit yang harus diterima, itu semata-mata bukan sebuah kekalahan melainkan jalan baru baginnya untuk berkontribusi jauh lebih baik lagi bagi kampus yang dicintainnya.
Memang masa-masa akhir semester gajil seperti sekarang adalah momentum untuk pergantian masa jabatan di kampusku, mulai dari organisasi tingkat bawah sampai organisasi tertinggi, sedang sibuk-sibuknya melakukan pesta demokrasi. Arah perbincangan kami pun kemudian beralih ke soal pemilihan ketua BEM KM, mengulas track record calon 1 yang dari partai A, beralih ke calon 2 yang dari partai B, kemudian calon 3 yang mencalonkan diri secara independent. Sampai pada akhirnya Chandra bilang bahwa calon 3 sebenarnya masih satu atap dengan calon 1 yaitu dari partai A, yang dikordinir oleh organisasi besar mahasiswa "Z". Sedangkan calon 2 yang berasal dari partai B teryanta digawangi oleh organisasi mahasiswa "X" seteru abadi "Z".
Wasrif hanya cengar-cengir mendengar cerita panjang lebar yang disampaikannya, sedangkan aku diam memperhatikan dengan seksama. Wasrif yang notabennya adalah dari organisasi mahasiswa departement agama, menanggapi dingin "perseteruan" itu. Mungkin dia juga termasuk salah satu anggota "X" atau "Z", batinku. Tapi aku tidak mau ternggelam dalam prasangka-prasangka tak mendasar itu.
"owh ternyata begitu to pakdhe?", tanyaku penasaran.
"ya begitulah om, dunia perpolitikan kampus, semakin ke atas maka akan semakin ruwet jika kita membahasnya", terangnya.
Karena pengalaman organisasi yang dimilikinnya, aku cukup yakin dengan apa yang dia ucapkan, apalagi dia berkata jujur kalau sebenarnnya dia juga adalah salah satu anggota organisasi "X" itu.
"sebenarnya mudah membedakan mana yang "X" dan mana yang "Z" om, terutama yang akhwat", dia mulai menjelaskannya.
"oyah? gimana pakdhe?", tanyaku lagi.
"kalau yang "X" itu selalu memakai jilbab panjang, rok panjang, serta selalu mengenakan kaos kaki, sedangkan yang "Z" terlihat seperti kebanyakan wanita, berjilbab tapi kadang cuma pake celana jeans dan ga pake kaos kaki, itu perbedaan mendasarnya, ya walaupun tidak serta merta kita langsung mengatakan bahwa dia adalah anggota kelompok organisasi "X" atau "Z" ",
"owh, gitu to pakdhe....", aku mengangguk-anggukan kepala seolah yakin dengan penjelasannya.
"ya begitulah kira-kira om Afif...",
Aku yang "cupu" akan dunia politik kampus, aku yang cukup merasa tidak peduli dengan semua hal itu, dan pada kenyataannya aku hanya menjadi mahasiswa biasa. Dan memang dari awal masuk dunia kampus, aku tidak begitu tertarik dengan politik-politik semacam itu.
"kalo sudah begini lebih baik dulu aku ga pernah tahu om...",dia menambahkan.
"lha kok?",
"ternyata sungguh rumit sistem ini", keluhnya padaku.
"tapi kan panjenengan sudah kadung ngerti...ya mau ga mau harus mau meneruskannya, toh selama berada pada jalur yang benar kita tidak perlu takut keblinger...",
"doakan saja om...",
"nggih....semangat untuk menjadi pemimpin yang amanah pakdhe!!!!",
"amin ya Allah....", dia mengamini.
Tak terasa malam kian larut, matanya yang sayup kini mulai merengek minta dimanjakan. Tak lama setelah kami saling diam, akhirnya dia terlelap bersamaan dengan lepasnya lelah. Dan tak lama setelahnya juga, Wasrif izin untuk kembali ke kostnya. Baiklah kawan, lain waktu kita lanjutkan lagi perbincangan kita, batinku. :)
nb: aku memang biasannya memanggil Candra dengan sebutan pakdhe, sebaliknya dia memanggilku om. Aneh memang, tapi paling tidak itu lebih terdengar sopan dari pada memanggilnya "kowe"(kamu).
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)