Segelas Gerimis


Ruang kerja, Januari 2015


Masih ada gerimis yang setia di luar jendela, rintik lembut membasahi daun-daun. Kaca jendela mengembun oleh beda suhu antara dua ruang. Satu persatu tetes jatuh mengenainya, mengalir pelan. Semakin lama dipandang, fokus semakin kabur oleh "mesin waktu" yang menyusup ke dalam bawah sadar, membawa saya menuju masa dan ruang  yang telah lama berlalu.

 ***

     Dua gelas teh hangat tersaji di atas meja persegi kecil. Aroma harum melati keluar bersama uap membentuk lekuk, memecah petrichor hujan di luar jendela. Dua orang duduk di kursinya masing-masing, menghadap ke arah yang sama. Dingin tersamarkan oleh hangatnya perbincangan yang sudah dimulai sedari tadi. Obrolan ringan mengenai segala hal, tentang kegiatan seharian tadi, tentang orang-orang yang baru dikenal, hingga masuk pada ranah agama. Tidak ada topik khusus yang memagari pada setiap perbincangan, begitu bebas dan terbuka, saling bertukar pengalaman dan pemahaman. Satu-satunya alasan yang menjadikan obrolan tersebut nampak begitu mengalir adalah ikatan emosional. Ya, karena ada ikatan emosional diantara keduanya. Walaupun terkadang ada perbedaan cara pandang, namun tidak sampai pada perdebatan yang berujung runcing. 

     Perbincangan yang berjalan dua arah, pun pada akhirnya menjadi satu arah tatkala masuk pada satu moment akhir. Menjadi penutup dari kehangatan suasana, bersamaan dengan sruputan terakhir seduhan teh. Menjadi satu arah karena itu yang memang diharapkan, ketika keduanya harus menjadi diri masing-masing. Moment akhir adalah moment yang sangat ditunggu oleh satu pihak. Karena dia tahu persis bahwa inti dari perbincangan panjang lebar berada di moment tersebut. Yap, sebuah nasehat hidup dari seorang bapak kepada anak lelakinya.

***

Berbincang dengan bapak sembari menikmati hangat segelas teh apalagi di sore hari yang bergerimis adalah sebuah moment favorite. Di waktu lampau mungkin sedikit mudah saya dapatkan, setidaknya sekedar untuk menikmati suasana sore, namun tidak dengan sekarang. Jika boleh berandai, saya ingin kembali mengulang moment tersebut. Bukan lagi perbincangan antara seorang bapak dan anak, melainkan antara dua orang laki-laki. 


Komentar