Menyapa Gede-Pangrango (catper part 3)
Puncak Gede, 27 April 2012
2958 mdpl.
Pagi
mengendapkan sepi, udara berselimut dingin, butir-butir embun terakumulasi pada
pucuk-pucuk daun lalu jatuh bebas di atas tanah. Sebuah suara dari balik tenda
samar terdengar, pukul 4.30 pagi, bang Aji, salah seorang teman asal Jakarta
yang ikut rombongan kami sudah menyalakan kompor untuk memasak air. Saya
terbangun seiring suara yang semakin lama semakin jelas terdengar di telinga,
udara terasa begitu dingin menusuk kulit. Bang Aji menyodorkan secangkir kopi
full cream untuk saya, satu dua kali sruputan, kehangatan begitu terasa
mengalir turun dari kerongkongan hingga terendap di perut. Berada di ketinggian
2400 meter sepagi ini tak terbayang bagaimana dinginnya mata air sumber
satu-satunya yang ada di tempat ini. Ya, disini terdapat satu sumber air yang
biasa digunakan oleh para pendaki untuk memasak ataupun mengisi kembali botol
air mereka. Tanpa harus repot merebusnya, air dari mata air ini bisa langsung
di minum karena setidaknya jumlah polutan yang mencemari air masih berada di
bawah batas aman. Saya tak berani berlama-lama untuk mengambil air wudlu,
sesegera mungkin saya harus memakai kembali jaket tebal saya.
Pukul
07.30 setelah kami semua siap, perjalanan tracking untuk tujuan selanjutnya pun
dimulai, menuju puncak Gede. Hampir mirip dengan track menuju Pangrango, track
menuju puncak Gede pun menanjak dan terjal, kian ke atas jenis pepohonan kian
pendek dengan ranting kecil-kecil, hampir di seluruh permukaannya diselimuti
lumut. Di dua pertiga perjalanan kami memasuki tanjakan berbatu dengan
kemiringan hampir 90 derajat, wilayah ini biasa disebut “Tanjakan Setan”, kami
harus extra hati-hati untuk melewati track yang satu ini, karena sedikit saja
melakukan kesalahan bisa saja kami terperosok ke dalam jurang. Sebenarnya ada
jalur lain yang lebih aman dari Tanjakan Setan, namun kita harus memutar cukup
jauh sehingga akan menghabiskan waktu perjalanan. Selepas Tanjakan Setan,
pemandangan indah terpampang di depan mata, puncak Pangrango tergambar jelas
disana.
![]() |
Jalan menuju puncak Gede |
Mata
terpaku memandang satu demi satu keindahan alam dari atas puncak, barisan pegunungan
berkumpul seolah sedang menghadap kami, inikah rasanya berada di atas tempat
tertinggi? Lebih indah dari kata indah selama ini pada kenyataanya. Jika
diperhatikan lebih jauh, jalan yang berada di atas puncak Gede hampir mirip
tangga-tangga menuju surga. Jalan setapak
berpasir dan berkerikil ini di kanan dan kirinya merupakan jurang
terjal, salah satu sisi adalah kawah gunung Gede sementara sisi yang lain
lembah. Jalan ini memanjang hampir mengelilingi kawah Gede, kian memandang jauh
ke depan kian hilang tertutupi awan.
Suryakencana, 2750 mdpl.
Padang
savana seluas 17 hektar ini berada di bawah lembah Gunung Gede. Untuk menuju ke
tempat ini kita harus menuruni lereng dari puncak Gede. Tak sampai satu jam
perjalanan menuruni lereng yang dipenuhi batu-batu, kita sudah sampai di padang
Suryakencana. Wilayah ini juga sering dijadikan sebagai tempat ngeCamp oleh
para pendaki, terutama yang naik dari Gunung Putri maupun Salabintana.
Ditengah-tengah padang terdapat sumber air yang mengalir membelah padang, air
yang masih sangat jernih dan dingin ini dimanfaatkan oleh para pendaki untuk
mengisi botol air, memasak, maupun untuk mandi. Sementara pada tepian padang,
edelweiss tumbuh bertebaran disegala tempat, membuat kesan warna putih di
sepanjang tepian padang. Sebuah tempat asing yang sangat jarang dijumpai di
belahan bumi manapun.
Kami sendiri menikmati suasana
di Suryakencana dengan bermandi-mandi, sesekali merebahkan badan di atas batu
melihat arak-arakan awan di atas langit biru yang meliuk-liuk tertipu angin
sembari berjemur menghangatkan badan. Merasa puas menikmati suasana
Suryakencana, kami kembali naik ke puncak Gede untuk kemudian turun kembali ke
tempat Camp, pukul 13.00 kami sampai di Kandang Badak.
![]() |
Ayo mandi boy! |
Di
Kandang Badak kami tidak punya banyak waktu lagi, sebelum matahari tenggelam
kami sudah harus turun kembali ke Base Camp di Cibodas. Selesai beristirah dan
mengisi tenaga, kami lantas berkemas-kemas, menggulung kembali Dom dan
membersihkan area sekitar karena kami tidak ingin meninggalkan sampah di sini.
Dua buah trushbag sudah kami siapkan untuk membawa turun sampah-sampah plastik.
Pukul 16.00 kami memulai perjalanan turun. Sebisa mungkin kami harus segera
turun menghindari gelapnya malam, karena di tengah hutan nanti jalan akan sulit
terlihat jika gelap telah datang. Kami melewati track yang sama dengan track
yang kami gunakan untuk naik tempo hari. Tepat pukul 19.00 malam kami sudah
sampai di warung bu iim.
Nafas
terengah-engah, pakaian basah oleh keringat dan gerimis yang sedikit turun,
kaki lecet-lecet, lutut terasa sulit untuk digerakkan, betis tegang, menjadi
konsekuensi yang harus kami terima kali ini, namun semua itu terbayar lunas
oleh keindahan dan keramahan alam Gede-Pangrango.
Bersambung...
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)