Dua Hari Dua Malam di Kota Pempek
Tanggal merah, terlebih
di akhir pekan, bisa dikatakan adalah sebuah “hadiah” istimewa bagi para
karyawan (termasuk saya) selain gaji ke 13 tentunya. Walaupun tanggal merah
biasanya hanya sehari, namun banyak yang menunggu kedatangannya, ibarat sebuah
hujan di tengah kemarau yang berkepanjangan. Dalam rangka “memperingati”
tanggal tersebut, biasanya para karyawan ini merencanakan dengan matang
kegiatan yang akan dilakukan, seperti mengunjungi kerabat, pergi ke tempat
wisata bersama keluarga, bepergian ke tempat baru, bermasak-masak ria, atau hanya
sekedar “ngebo” di atas kasur menghabiskan sisa umur :D
Nah, bagi saya sendiri tanggal merah menjelang akhir pekan
biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan yang kurang bermanfaat, yap, tidur.
Kecuali ada ajakan dari pihak lain (teman) atau naluri “mbolang” sedang muncul,
maka tanggal merah saya manfaatkan untuk melakukan kegiatan yang lebih
bermanfaat, ya walaupun yang merasakan manfaatnya hanya saya sendiri. Hehe.
Dilandasi atas rasa kecewa yang masih tersisa di sini (nunjuk dada #lebay) karena
2 minggu yang lalu gagal mendaki gunung, maka hari Jumat kemarin (24/10) saya berencana mengobati rasa kecewa dengan
pergi ke tempat asing. Kenapa asing? karena saya merencanakan pergi ke
salah satu kota di suatu pulau yang seumur hidup belum pernah saya kunjungi, apa itu? Jeng...jeng... Kota Palembang
di Sumatra Selatan. Yah walaupun sebenarnya tidak begitu jauh dari Jakarta namun
rasa ketertarikan dan penasaran saya cukup besar terhadap kota ini, hal itu tidak lain
karena "interfensi" dari sahabat saya tentang kota tersebut. Dulu selama
saya kuliah di kota Gudeg, orang tersebutlah yang menjadi teman “menggila”
saya, orang yang tahu tentang saya luar-dalam, begitu juga sebaliknya. Lalu
setelah lulus, garis nasib mengarahkan kita kepada jalan yang berbeda. Dia
bekerja di Palembang, sementara saya di Jakarta. Baginya kota Palembang adalah
kota impian untuk bekerja setelah lulus kuliah, dan betapa beruntungnya dia
karena Allah mengabulkan mimpinya tersebut.
Seminggu sebelum keberangkatan saya ke Palembang, booking
tiket pergi-pulang sudah dia pesankan untuk Jumat malam dan Minggu malam, jadi
saya tidak perlu repot-repot mengurus banyak hal. Saat hari J (kalo hari H maka
jadinya Hum’at dong? #abaikan) saya sengaja pulang kantor lebih awal karena
khawatir kena macet, jadi bergegaslah saya jam 15.30 menuju bandara, dan
ternyata benar, saya baru sampai bandara pukul 18.00, padahal normalnya hanya butuh waktu
sekitar 1 jam. Untung saja saya sudah sedia
waktu sebelum telat, jadi setiba di bandara masih bisa “leyeh-leyeh” menunggu
boarding jam 19.20 wib. Demikian itulah kondisi Jakarta saudara-saudaraku sekalian, terutama
menjelang akhir pekan. Masih bermimpi ingin hidup di Jakarta?
***
Tiba-tiba dia menurutkan gas dan menginjak rem. Motor pun
berhenti di samping trotoar jalan.
“Pip, sedilut”,
celetuknya.
“Ono opo, bro?”, saya penasaran.
Dia mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribuan.
“Iki tulung cekel”, perintahnya singkat.
“kanggo opo e?”
“Ameh tak ke’i kejutan”
“Kejutan opo?”, saya penasaran.
“Wis pokmen josh mantep…haha”, dia meyakinkan saya.
“Asemik”, celetuk saya.
Kami pun kembali berjalan, dan tak selang berapa lama dia
membelokkan motor memasuki gang gelap, tak ada penerangan sedikitpun.
“Owh, lewat kuburan to, bro?”, saya menebak.
“Kita lihat saya nanti, haha”, sambil cengengesan dia
menjawab.
Barulah sekitar 100 meter
dari pertama kali kami masuk gang ada cahaya motor nampak dari arah yang
berlawanan. Dari kejauhan terlihat ada segerombolan orang menjaga portal dari
bahan bambu.
“Sepuluh ribu, bang”, orang tinggi besar menyetop motor
kami.
“Pip, kek’ne duite mau”, perintahnya.
Tanpa pikir panjang saya berikan selembar uang sepuluh ribuan
tersebut. Palang pintu pun dibuka sehingga kami dapat melaju ke depan. Tapi,
baru sepuluh meter kami jalan, eh sudah di cegat lagi, kali ini orangnya kurus
seumuran kami.
“Pip, kek’ne meneh sing sepuluh ewu sijine mau”, sahabat
saya meminta saya meyerahkan lembaran uang terakhir yang sudah disiapkan.
“Oke”, saya menjawab singkat saja.
***
“Piye cuy menurutmu mau? hahahaha”, dia tertawa lepas, merasa
puas telah membuat saya “terkejut”.
“Wah, kowe ki kurang asem og, untung wae aku esih kuat iman.”
Dan obrolan kami pun berlanjut sepanjang jalan sampai
berhenti di warung makan di pinggir jalan. Perut kami meronta-ronta meminta untuk di
isi.
***
Malam itu saya di ajak untuk berkeliling di Kampung Baru,
sekedar melihat kehidupan manusia-manusia malam, menyaksikan fenomena yang
keberadaannya nyata di sekitar kita namun masih asing bagi sebagian kita. Sebuah
dunia yang gelap menurut pandangan kita, namun terang benderang penuh kenikmatan
menurut mereka.
Dua hari di Palembang kami habiskan untuk mengitari kota, berkunjung
ke tempat-tempat monumental serta menikmati kuliner khas kota tersebut. Bersilaturahmi ke
rumah salah seorang kenalan kami yang asli orang Palembang.
Dua hari rasanya tidak cukup untuk mengenal Palembang, jadi
saya hanya mengenal kota tersebut berdasarkan apa yang saya saksikan. Karena hakikatnya,
mengenal sebuah kota adalah mengenal budaya, adat, serta perilaku masyarakat
yang tinggal di dalamnya.
Petualangan yang seru, ya :)
BalasHapusYap, lebih seru karena bersama sahabat :)
BalasHapus