Menyapa Gede-Pangrango (catper part 4)
Pasar
tumpah Cibodas
28
April 2012
06.00
WIB
Matahari
masih enggan menampakkan sosoknya, mungkin nanti sekitar dua jam lagi dia baru
akan muncul di langit Cibodas. Ya, disini jarang sekali terlihat akan indahnya
sunrise karena secara topografi wilayah ini berada di balik gunung, selain itu
juga karena kabut sering kali menutupi sebagian besar wilayah ini. Di pagi hari
seperti ini, warga setempat sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, para
penjual “warung makan” sibuk menyiapkan menu-menu andalan mereka di
lemari-lemari kaca, penjual tanaman hias sudah sibuk merapikan
tanaman-tanamannya, penjual gorengan sudah sedari tadi sibuk menggoreng adonan
tepungnya, penjual sayuran sedang asyik tawar menawar dengan pembelinya,
mungkin hanya penjual pakaian yang belum terlihat sibuk membuka lapaknya. Itulah
sedikit banyak suasana pagi yang terlihat di daerah ini.
Anak-anak
berlarian saling berebut mengejar bola plastik di area parkir yang masih sepi,
ditendangnya bola kesana kemari tak tentu arah, wajah-wajah ceria mereka
menghangatkan suasana, tawa-tawa kecil turut berlarian mengikuti tuannya yang
riuh meminta bola di tendang ke arahnya.
Sementara
para pengunjung (pendaki maupun turis lokal) memadati sepanjang jalan untuk
membeli barang yang mereka inginkan ataupun hanya sekedar melihat-lihat dan
menikmati suasana. Pada ujung barisan kios, suasana bertambah ramai karena di sana
terdapat pasar tumpah tempat para penjual saling berinteraksi dengan pembeli. Kebanyakan
para penjual adalah warga sekitar sementara para pembeli selain dari warga
sekitar juga para pendatang seperti kami. Ada berbagai macam barang dagangan yang
mereka tawarkan, mulai dari sayur-sayuran, gorengan, rebusan (kacang rebus, ubi
rebus, pisang rebus, celana rebus, sandal rebus, *maaf yang ini ngaco), hingga
pakaian tersedia di sini.
![]() |
pasar tumpah Cibodas |
Cukup
puas dengan jalan-jalan pagi, kami memutuskan kembali ke warung ibu Lina yang
berada dekat dengan pos Ranger itu. Sarapan pagi sudah tersedia di meja,
lengkap dengan sambal tomat buatan ibu lina yang maknyus. Beliau menyiapkan
semua ini sendiri, sebenarnya kami merasa kurang enak hati karena tidak
membantu apa-apa kecuali menghabiskan makanannya, namun ketika kami menawarkan
diri pada beliau pekerjaan apa yang bisa kami bantu, beliau menolaknya dengan alasan
takut kami tambah capek. Ya walaupun badan kami terasa kaku-kaku namun sebenarnya
kalau sekedar cuci piring kami masih mampu. Tawaran kami selalu ditolaknya,
itulah beliau, masih terlihat darah bataknya walaupun sudah berpuluh tahun
tinggal di pulau Jawa.
Ini hari
terakhir kami berada di sini, sebentar lagi kami akan meninggalkan tempat yang
penuh kenangan ini. Barang bawaan sudah kami rapikan, baju kotor bekas
pendakian sudah masuk Carier, badan sudah wangi, sudah saatnya untuk berpamitan
pulang. Jarum jam menujuk angka 9.30, mobil
angkot sudah terparkir di depan warung, lagi-lagi bu Lina beberapa saat tadi
membantu kami mencarikan angkot, kata beliau, beliau sudah kenal dengan si
sopir angkot jadi untuk masalah ongkos bisa lebih murah, beliau juga yang
menawar soal ongkos tersebut. Kami hanya membayar 2.500 rupiah dari harga
normal 3.000 rupiah. Selesai prosesi pamitan dengan beliau, kami diantarkan
angkot sampai ke pertigaan jalan besar untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan
dengan bus.
![]() |
bersama bu Iim sebelum pamitan |
Tak
membutuhkan waktu lama bagi kami untuk menunggu, bus ekonomi jurusan Bandung
sudah ada di depan kami. Untuk mengantisipasi tarif bus yang tidak dapat
diduga, maka sebelum naik ke dalam bus, kami sedikit melakukan trik dengan
langsung menawar ongkos sampai terminal Leuwi Panjang, akhirnya setelah tawar
menawar dengan kernet bus kami membayar 110.000 rupiah untuk 7 orang beserta
tas Carier yang bakal memakan tempat di dalam bus. Yap, lebih murah dari pada
ongkos sewaktu kami berangkat.
Alun-alun
Kota (Masjid Raya Bandung)
Empat setengah
jam perjalanan di dalam bus, kami sampai di terminal Leuwi Panjang. Suasana siang
hari yang terik di terminal membuat kami merasa tidak nyaman. Sementara masih
ada banyak waktu karena kereta yang akan munuju Jogja baru berangkat pukul
20.30 dari stasiun Kiaracondong. Akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan
waktu dengan berkeliling di alun-alun kota. Dari terminal Leuwi Panjang kami
naik bus DAMRI menuju alun-alun kota, dengan ongkos 3.000 rupiah kami sudah
sampai ke tempat tujuan.
![]() |
di depan MRB |
Warung-warung
tenda berjejer saling berimpitan satu sama lain di tepi trotoar luar pagar
Masjid, warung makan, bakso, mie ayam, gorengan, sup buah, serta berbagai
warung jajanan lainya. Tak kalah ramai dengan warung-warung, para pengunjung
juga memadati jalan-jalan disekitar Masjid. Masuk ke dalam pagar Masjid, para
penjual masih banyak dijumpai, emper-emper Masjid menjadi tempat lesehan oleh
para pembeli sementara di halaman depan tenda-tenda kecil saling berderet.
Persis seperti suasana pasar malam di siang hari. Saya sendiri merasa
terheran-heran karena baru kali ini melihat Masjid tidak jauh beda dengan
Sunmor (Sunday Morning) yang ada di sekitaran UGM. Boleh jadi hal ini merupakan
salah satu kebijakan pemerintah kota untuk menjadikan Masjid yang multifungsi,
disatu sisi sebagai tempat ibadah sementara di sisi lain dapat menambah
pendapatan daerah. Namun yang cukup disayangkan, ada beberapa yang menyalahgunakan
sebagai tempat kencan, dan yang lebih miris lagi mereka melakukannya di dalam Masjid.
Gerimis
turun begitu manis ketika kami sedang bersandaran di emperan Masjid, menikmati
pemandangan orang-orang dengan kesibukan mereka, pengemis tua dengan tongkat
usangnya yang sedang menyodorkan kotak kecil di tangan, penjual krupuk yang
menawarkan krupuknya kepada setiap orang, ibu tua yang sedang asyik mengipasi
sate buatannya, anak-anak yang sedang
gembira naik kereta putar, gadis-gadis Bandung yang “Oke” sedang menawar gelang
dan cincin, dan pasangan muda-mudi yang sedang asyik dengan perbincangan
mereka. Gerimis juga lah yang mengundang perut-perut kosong kami untuk meminta
segera diisi. Warung-warung tenda di luar pagar Masjid seolah ikut memprovokasi
perut kami. Baiklah, kami langsung capcus ke salah satu warung soto ayam di
luar pagar untuk memanjakan perut. Soto ayam dan nasi goreng menjadi menu
pilihan kami. Satu hal yang membuyarkan nikmatnya makan soto ayam dan nasi
goreng di tengah gerimis adalah harga yang selangit. Seperti tersambar petir
ketika penjualnya menyebutkan uang yang harus kami bayar. Benar-benar membuat
dada kami penyempit seketika, ini jauh diluar perkiraan kami semua. (mampus,
kapok, dan tidak lagi-lagi)
![]() |
Soto ayam & nasi goreng harga spesial |
Kiaracondong
18.00
WIB
Kumandang
adzan terdengar silih berganti ketika kami baru saja sampai di Stasiun, rona
jingga senja mengintip dari balik jembatan layang. Sementara suasana di lobi
stasiun sudah ramai oleh para calon penumpang yang sedang mengantri tiket,
berbaris seperti kawanan bebek hingga keluar pintu depan lobi. Kami masuk ke
ruang tunggu dengan santai karena tiket sudah berada di tangan, kami telah
memesan tiket beberapa hari yang lalu sebelum kami naik. Selesai menjalankan
sholat, kami duduk santai di salah satu pojok ruang tunggu, sambil menunggu
kereta datang kami bermain kartu sembari menikmati gorengan yang masih hangat,
segelas kopi, dan satu gluntung semangka yang tadi kami beli di pasar dekat
Stasiun.
Beberapa
orang sesekali melirik – melirik tingkah kami, mungkin dalam hati kecilnya
berkata ,”ini orang asyik betuuuullllll ya….”. Hingga di tengah keasyikan kami
ada seorang ibu tanpa sungkan meminta semangka kami, tentu saja kami mempersilakannya,
mungkin saja beliau juga ingin ikut larut dengan keasyikan ini.
Kereta
Kahuripan jurusan Kediri tiba di Stasiun pukul 20.30, orang-orang sudah tidak
sabar untuk segera masuk ke dalam kereta, berdesak-desakan tanpa memperhatikan
sekitarnya. Kami lebih memilih masuk di akhir karena membawa tas Carier, toh
pasti mendapat tempat duduk. Lima menit berlalu, kereta mulai bergerak
meninggalkan Stasiun, meniggalkan Bandung menuju satu demi satu kota setelahnya
seiring dengan lelap tidur kami. Meninggalkan setiap moment berharga yang telah
kami lalui, menyisakan kepingan-kepingan kenangan yang akan sulit dilupakan.
Special
thanks to:
Allah SWT
Gede-Pangrango
Suryakencana
Kandang Badak
Bu Iim
Teman-teman AVANTE (Moko, Arif,
Rofik, Afa, Udin, Adit, Anas)
Cecep
Bang Aji
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)