Menyapa Gede-Pangrango (catper part 2)


Cibodas, 26 April 2012
1250 mdpl.

Jarum jam menunjuk ke arah 7.30 ketika kami siap untuk memulai pendakian. Berbagai perbekalan dan perlengkapan telah tersusun rapi di Carier, menempel erat di pundak. Langkah mulai berayun menapaki jalan aspal menuju Basechamp resmi TNGGP sekitar 500 meter dari warung bu iim, tempat kami menginap. Tidak seperti pendakian gunung lainnya, di TNGGP kita harus melakukan registrasi jauh hari sebelum hari pendakian, melalui pendaftaran online via web resminya (www.gedepangrango.org) kita di haruskan mengisi form untuk masing-masing anggota, agak sedikit ribet memang, namun hal ini dilakukan demi keamanan dan ketertiban pada saat pendakian. Pada hari H sebelum pendakian, dilakukan ceck in untuk semua barang bawaan oleh green rangen setempat.

Pukul 7.40 kami mulai melakukan pendakian, tangga-tangga batu tersusun rapi di tengah-tengah pepohonan yang rimbun, membangunkan semangat pada diri kami untuk segera mencapai puncak Gede-Pangrango. Belum sampai 30 menit kami berjalan, sebuah telaga di sisi kiri jalan mengalihkan perhatian kami, sebuah sajian alam di awal perjalan yang sangat eksotis, airnya berwarna hijau kebiruan sangat jernih sehingga ikan-ikan pengisi telaga terlihat jelas saling berenang. Akar-akar pohon menjuntai ditepian telaga, daun-daun terbayang jelas di atas air, Telaga Biru yang masih sangat alami.   
Bergaya di tepian telaga

Setelah puas menikmati keindahan Telaga Biru, kami menajutkan perjalanan, masih dengan tangga-tangga batu, setapak demi setapak kami lewati dan berujung pada sebuah jembatan kanopi yang berdiri di atas rawa, rawa Gayonggong. Untuk sampai di jembatan kanopi waktu yang harus ditempuh dengan perjalanan normal sekitar 1,5 jam. Tak jauh dari ujung jembatan, air terjun Cibeurem di ketinggian 1650 mdpl jatuh abadi dari atas bebatuan dan mengalir menyusur sungai-sungai kecil di bawahnya. Selepas air terjun, jalan setapak terjal berbatu mulai menyapa kaki-kaki kami, sesekali kami jumpai pohon-pohon yang tumbang menghalang jalan, memaksa kami untuk memutar mencari jalur lain. Suasana khas hutan hujan tropis sangat kental terasa, tanah yang basah, udara lembab, daun-daun yang meneteskan embun menjadi pemandangan disepanajang perjalanan. Demikian trek yang harus kami daki selama 3,5 jam.      

Air terjun
Rasa lelah seketika terobati ketika dihadapan kami terlihat pemandang yang tidak biasa, di balik rerimbunan pohon mengepul asap putih ke atas, suara gemericik air semakin lama semakin terdengar jelas di telinga kami, dan dari balik bongkah batu besar muncul mata air panas jatuh menuruni lereng bukit, sungguh sajian alam yang sangat luar biasa. Mata air panas yang bersumber dari kawah gunung Gede menjadikan semacam sauna di tengah hutan lebat. Sementara kami, menaruh tas Carier di atas batu dan mulai menikmati sauna gratis ini.
Anas sedang menikmati sauna gratis
Sepuluh menit perjalanan dari Air Panas, kami menjumpai tanah datar yang cukup luas, Kandang Batu, para pendaki sering Camping di sini ketika mereka meresa terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak. 


Kandang badak, 12.55 WIB 
 2400 mdpl.

Suasana sepi menyambut kedatangan kami, di sekitar area Camp hanya terlihat bungkusan sisa bekal para pendaki yang telah ditinggalkan pemiliknya. Kami memasuki sebuah bangunan rumah yang tak berpenghuni, di bagian depan bangunan terdapat sebuah papan menggantung bertuliskan “KANGANG BADAK”. Heran, diatas ketinggian 2400 mdpl ada bangunan permanen semacam ini, saya sendiri membayangkan bagaimana susahnya membawa material sampai ke tempat ini pada waktu membangun. Dinding yang masih belum diplester tersusun dari pasangan batu kapur, kuda-kuda dan rangka atap terbuat dari baja bulat tersusun secara kompak, atapnya terbuat dari seng, sementara pintu dan jendelanya nihil, atau mungkin sengaja dibiarkan tidak dipasang. Lantai bangunan telah penuh dengan bungkus sisa-sisa para pendaki berserakan dimana-mana, pada bagian ruang lain lantainya becek dan beraroma tidak sedap. Dan memang, itulah kenapa bangunan ini disebut sebagai Kandang Badak. Tempat ini menjadi pilihan kami untuk ngeCamp.

Setelah menentukan tempat yang cocok, kami langsung berbagi tugas untuk mendirikan dom dan memasak, 1 buah dom ukuran besar dan 2 buah dom ukuran kecil cukup untuk kami yang berjumlah 10 orang. Selesai beristirahat dan mengisi tenaga, pukul 16.00 WIB kami bersiap untuk tracking menuju puncak Pangrango yang berjarak 2 km. Tas Carier sengaja kami tinggal di dalam dom dan hanya membawa perbekalan secukupnya, air minum, makanan ringan, dan obat-obatan. Karena track yang akan kami tempuh cukup berat, terus menanjak hingga puncak. Perlahan tapi pasti, tanjakan demi tanjakan kami lahap, sesekali berhenti untuk mengendurkan kembali otot kaki yang tegang. Dan hampir 2 jam perjalanan yang penuh perjuangan, akhirnya kami sampai di puncak Pangrango. Sebuah tugu tua setinggi 2 meter berdiri di atas ketinggian 3019 mdpl yang penuh misteri, di atas tugu ini jualah Soe Hoek Gie pernah duduk menyila. Bercerita kepada kita para generasi muda, bahwa mendaki gunung sejatinya adalah perjuangan menaklukan diri sendiri.
Anas, Afa, Udin, Adit, Arif, Rofik, Saya, dan Moko
Mentari senja mengiringi kami menghabiskan suasana di puncak Pangrango, edelweiss bertebaran di lereng-lereng, hembus angin bersedir halus, suasana damai berselimut awan. Tepat dihadapan mata, puncak Gede yang tadinya telihat jelas kini semakin samar hingga akhirnya menghilang di telan gelap malam. Setengah jam berlalu, kami memutuskan untuk kembali ke Camp.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu