Menyapa Gede-Pangrango (catper part 1)

Lempuyangan, 25 April 2012

20.00 WIB


Suasana malam tampak ramai ketika saya baru saja tiba di depan gerbang Stasiun, dari kejauhan sudah tampak beberapa anak muda dengan barang bawaannya, mereka berkumpul membentuk koloni di lobi Stasiun. Saya bergegas menuju ke arah mereka, menyapanya dan berjabat tangan. Ya, saya tak canggung untuk langsung bergabung dengan mereka kerena kami telah saling mengenal sebelumnya,  meraka semua merupakan teman satu unit KKN saya dulu.


Afa, Udin, Rofiq, Arif, Adit, dan Anas. Mereka semua merupakan mahasiswa dari jurusan Fisika Teknik UGM yang terbagung dalam kelompok pencinta alam dari jurusan mereka, AVANTE singkatan dari Adventurer and Environmental Society. Sementara saya berbeda jurusan sendiri. Kami, tujuh orang mahasiswa tingkat atas yang tak lagi punya "hubungan erat" dengan kampus, kami adalah mahasiswa “tua” yang merasa termarjinalkan dari mahasiswa-mahasiswa angkatan “fresh” pada saat di kampus, dan kami adalah mahasiswa yang sudah “bebas” dari jadwal-jadwal kuliah. Dari beberapa hari sebelumnya kami telah merencanakan untuk keluar dari hiruk pikuk dunia kampus dan menikmati alam bebas, Gunung Gede Pangrango menjadi tujuan utama kami kali ini.
menunggu kereta

Gunung Gede Pangrango sendiri termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang termasuk ke dalam lima taman nasional di Indonesia. Ditunjuk sebagai taman nasional sejak tahun 1980 dengan luas wilayahnya sekitar 15.196 Ha. Secara administratif pemerintahan TNGGP termasuk Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur, Propinsi Jawa Barat.


Kereta Kahuripan jurusan Kediri – Padalarang tiba di Lempuyangan pukul 20.30, kami sengaja memilih menggunakan kereta Kahuripan yang sesuai dengan kantong kami sebagai mahasiswa, cukup dengan uang 35.000 kami bisa sampai ke tempat tujuan, stasiun Kiaracondong Bandung. Kami akan menempuh perjalanan sekitar 11 jam menggunakan kerata. Sepanjang perjalanan, para pedagang tidak henti-hentinya menawarkan barang dagangan mereka, dari awal kami naik sampai kami turun, sepertinya tak ada satu jam pun tanpa terlewat oleh pedagang, penjual kopi, nasi rames, lanting, buku anak-anak, sampe penjual korek api memeriahkan perjalanan kami. Suasana khas kereta ekonomi.


Matahari mulai bangun dari peraduannya, langit perlahan terlihat terang ketika kami memasuki wilayah Jawa Barat, berhektar sawah menghampar luas sejauh mata memandang, sementara pada batas garis cakrawala gunung-gunung tegak berdiri menyambut pagi. Pukul 08.00 pagi kereta telah tiba di stasiun Kiaracondong, kami bergegas turun dari kereta lantas menuju fasilitas umum stasiun, kamar mandi, untuk membasuh muka kami yang lusuh. Suasa pagi di kota Bandung terasa hangat, memancing perut-perut lapar kami berkoar untuk meminta segera diisi. Tak jauh dari gerbang stasiun, kami singgah di sebuah warteg, teh hangat, sayur kacang, tempe goreng, dan perkedel menjadi menu santapan kami pagi ini, sementara harga yang harus kami bayar 8.000 rupiah, dengan senyum manis kami keluar dari warteg, dengan menu seperti tadi sepertinya harga tersebut cukup fantastis untuk kami, maklum mahasiswa. Hehe.


Berikutnya perjalanan kami lanjut menuju terminal Leuwi Panjang, naik dari pertigaan yang tak jauh dari stasiun menggunakan angkot warna Merah nomor 5 jurusan Kelapa - Leuwi Panjang, tarif umum 5.000 rupiah, namun bagi merak yang pandai menawar, harga lebih murah bisa mereka dapatkan. Angkot yang kami tumpaki menerabas keramaian jalan yang sempit, dari luar jendela kami bisa melihat kesibukan warga kota Bandung dengan kegiatan mereka masing-masing. Sekitar 50 menit perjalanan, kami telah sampai di terminal Leuwi Panjang. Seperti halnya terminal lainya, ketika kami masuk ke dalam kami langsung di kepung bak jagung yang dilempar ke kerumuman burung. Kernet-kernet bus menanyakan tujuan kami secara bertubi-tubi, ada sedikit rasa risih sejatinya, sehingga kami memutuskan untuk duduk di ruang tunggu barang beberapa waktu untuk mengatur “strategi”, bus mana yang akan kami naiki menuju tujuan berikutnya.       

Akhirnya, kami memutuskan untuk menggunakan bus ekonomi jurusan Merak via puncak, karena bus eksekutif yang notabenenya lebih cepat ternyata tidak melewati Cibodas yang menjadi tujuan kami. Pukul 9.45 wib bus keluar dari terminal Leuwi Panjang, dan perjalanan panjang akan kami tempuh kembali melewati satu persatu wilayah di barat kota Bandung, daerah dengan kebanyakan berawalan kata “Ci”. Pukul 13.45 kami telah sampai di pertigaan gerbang Cibodas, untuk menuju basechamp Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) kami harus naik angkot warna kuning, meskipun jaraknya relative dekat (sekitar 4 km dari pertigaan) namun dengan kondisi jalan yang menanjak kami lebih memilih menggunakan angkot yang hanya merogoh kocek 3.000 rupiah.
duduk manis di dalam bis

Udara dingin mulai terasa di kulit, suasana khas wilayah dataran tinggi, bunga-bunga bermekaran indah di pekarangan warga yang berderet di sepanjang jalan. Di atas ketinggian 1250 mdpl kami telah sampai di basechamp TNGGP. Warung-warung berjejer rapi membentuk semacam pemukiman dengan tempat-tempat parkir yang luas di hadapannya. Anak-anak kecil berlarian mengejar bola plastik yang mereka mainkan dengan kaki-kaki mungilnya, menambah meriah suasana. Dari sebuah warung makan bercorak hijau seseorang keluar dan memanggil kami, memberikan insyarat kepada kami agar kami menuju ke arahnya. Ah, ternyata dia telah sampai lebih awal daripada kami. Ya, dia adalah salah satu teman kami yang menggunakan sepeda motor dari Jogja. Amazing memang, karena dia hanya seorang diri menggunakan motor dari Jogja menuju Cibodas yang memakan waktu berjam-jam. Namun, melihat track record dia yang pernah melitasi Jawa Sumatra sepertinya hal ini belum seberapa baginya. Ditambah pengalamannya yang telah menaklukan banyak gunung di pulau Jawa, tidak berlebihan jika kami menganggapnya sebagai Guard kami pada ekspedisi kali ini. Seorang adventur sejati.


Seorang wanita tua menyambut kami pada saat kami memasuki warung, ekspektasi kami bahwa beliau adalah pemilik warung ternyata tidak meleset, wanita berusia 60an tahun yang masih terlihat “segar” ini menyambut ramah kedatangan kami, menyediakan minuman teh-jahe hangat kepada kami, sepertinya beliau cukup tahu kondisi kami yang kedinginan. Suasana terjalin hangat setelah kehangatan dari the-jahe berpadu dengan obrolan kami bersama beliau, menceritakan maksud dan tujuan kami, dan tak butuh waktu lama buat kami untuk mengenal sosok beliau yang supel, seorang wanita bernama ibu Lina atau yang biasa dipanggil dengan julukan almarhum suaminya, Ibu Iim.


Belum genap 100 hari beliau di tinggalkan oleh suaminya, sekarang hanya tinggal bersama cucu sekaligus buyutnya, tiga orang inilah yang mendiami warung sekaligus rumah kediaman mereka. Bagunan semi permanen ukuran 6 x 8 meter beraksen hijau ini telah mereka tinggali selama bertahun-tahun. Dan disinilah kami menetapkan pilihan guna melepas lelah sembari memulihkan tenaga untuk mulai pendakian besok pagi, kami menginap di warung bu Iim.

setelah sholat ashar di mushola milik TNGGP
Mentari telah melesat dari garis cakrawala, embun menguap membentuk awan yang sesekali mengusap kulit tubuh kami, sementara dari balik awan Gede Pangrango kembali menampakkan sosoknya, mengajak bercengkerama bersama hembusan udara. Beberapa jam kedepan kami akan menyapamu, memelukmu,lebih dekat, lebih erat, Gede Pangrango.

Bersambung....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu