Merapi hari ini


New Selo, akhir Maret 2012

Kumpulan kabut tipis saling berarak melewati perbukitan, berkumpul satu sama lain membentuk awan putih, mengepul menutupi pucuk-pucuk pepohonan menyisakan batang-batang yang menjulang, layaknya pilar-pilar gedung pencakar langit sejauh mata memandang. Ada gerimis kecil berjatuhan dari langit, membasahi setiap lembaran daun yang dilaluinya, seketika udara dan tanahpun berubah menjadi lembab. Dingin terasa menusuk-nusuk kulit di kaki bukit. 


Merapi sore ini, 

menutup wajah indahnya,

mungkin dia malu,
akan ada aku yang datang menemuinya.

Senja tenggelam di ufuk barat, kabut putih perlahan mulai terkikis oleh rembulan yang muncul dari sela-sela ranting pepohonan, menyamarkan jalan setapak yang tadinya gelap. Suasana malam tampak lengang, sepi. Rimba belantara di kanan kiri jalan setapak yang mendaki. Jurang yang menjulang dari kaki lembah hingga punggung bukit, hitam legam mirip bebatuan alam. Memandang jauh di bawah sana, bola-bola lampu memancar warna-warni, berintegrasi menjadi lautan cahaya terang yang berjenjang luas.

Merapi malam ini,
tergaris jelas oleh cahaya bulan,
persis seperti lukisan alam,
berlekuk membentuk gunduk.

Sapuan angin kian terasa ketika tiba pada tempat yang terasing, batu-batu tajam membuncah ditapakkan kaki-kaki yang mendaki, terus mendaki tanpa henti, meluruhkan asa secara perlahan pada diri, sampai kapan akan berhenti?

Segenap tenaga telonta-lonta, tubuh layu lesu, ayunan kaki-kaki terus menapaki batu-batu yang tak kenal kompromi, dan di sana, di balik bukit terjal menjulang itu, bebatuan terhampar luas melapang, menandai tempat berhenti untuk menghabiskan malam, Pasar Bubrah.

Tumpukan batu tajam berjenjang membentuk miniatur merapi di pucuk bukit, pada sisi depan terpasang sebuah batu marmer dengan ukiran huruf, masing-masing tersusun membentuk tulisan dan berderet beberapa nama. Sebuah tumpukan batu peringatan, 35 tahun yang lalu, 3 manusia pemberani meninggalkan nama mereka dipelukan Merapi.

Merapi pagi ini,
deret awan beriring berganti,
melewati puncak-puncaknya,
udara tidak beranjak dari suhu rendah,
setiap hembus nafas terutai menjadi kabut-kabut tipis,
mirip Eropa di musim dingin.

Tetes keringat keluar dari pori kulit, menguap ke atas awan berakumulasi membentuk cumulus, sementara tubuh berubah biru bereksotermis dengan dingin. Jemari kusut mencengkram kencang bongkah-bongkah batu hasil erupsi baru, satu per satu batu terdaki mengarah vertikal terjal hingga sampai pada batas atas, puncak Merapi.

Lelah telah terbayar,
letih telah terlunasi,
dan kram telah terkikis,
badan terebah di atas puncak yang menjulang,
memutar kembali memori beberapa saat yang lalu,
pengorbanan itu.


Aku, hari ini, berada di atas puncak Merapi! 
Merapi,
aku menyapamu,
engkau yang dulu hanya dapat ku saksikan dari kejauhan,
kali ini kudekap engkau lebih dekat,
lebih dalam,
mengenalmu dari sisi tinggimu,
sungguh Maha Besar dzat penciptamu.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu