Ujian Kesabaran sang Teman

      Perlahan aku tarik nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan-pelan, ku ulangi untuk beberapa kali sampai pada akhirnya jantungku kembali berdetak pelan. Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan pada kondisi normal. Dan setelahnya, aku rasakan aliran keringat jatuh dari ubun-ubun turun sampai ke dagu, mengusap lembut melewati pori-pori wajah, semakin banyak dan mulai brutal membasahi wajah, terakumulasi pada akhir perjalanannya dibawah dagu.

     Kereta commuter jurusan Solo – Kutoarjo 15 menit lagi tiba di stasiun Lempuyangan, sementara aku dan seorang temanku masih berkemas-kemas menyiapkan barang yang akan dibawa. Memang tidak begitu banyak, hanya peralatan mandi dan satu pasang baju ganti yang aku masukkan ke dalam tas. Setelah semua siap, kami meluncur ke stasiun, menerobos barikade kendaraan yang lalu lalang di sepanjang jalan, suara klakson tak henti-hentinya berbunyi dari kendaraan lain, aku tahu pasti itu ditujukan untuk kami yang mengendarai motor tak memakai aturan. Namun dengan wajah innocence kami tetap melaju mengejar waktu. (sekarang aku kembali tersadar, mengapa orang-orang kadang suka berbuat nekat, boleh jadi mereka berada pada kondisi yang sedang aku rasakan saat ini, kepepet).

     Kereta mulai terlihat dari arah timur ketika aku baru saja selesai transaksi dengan petugas penjual tiket. Bersyukur, akhirnya kami bisa pulang menggunakan kereta commuter kebanggaan warga Solo ini. Keretapun mulai meluncur melajutkan perjalanan, dari sela-sela jendela angin masuk menyisir, sedikit menurunkan suhu udara di gerbong kereta. Aku duduk digerbong paling belakang, tepat di sebelah mesin yang hanya dibatasi oleh sekat baja, suara bising mesin diesel sedikit banyak mengganggu pendengaranku. Di sebelahku, seorang pria paruh baya yang ketika aku datang beliau sudah berada pada tempat duduknya, berkacamata dan memakai baju PDL ala pegawai negri. Kami sedikit saling sapa, sekedar ngobrol seputar tujuan dan menyinggung masalah fasilitas kereta yang kami tumpangi. Jujur aku hanya menganggukan kepala dan mengiyakan perkataanya, karena memang kelihatannya beliau lebih tahu soal materi perbincangan kami.

     Suasana kembali sepi ketika kereta sudah lewat setengah perjalanan dan tinggal sekitar setengah jam lagi kereta akan sampai di tujuan akhir, Kutoarjo. Sehabisnya perbincangan dengan bapak paruh baya tadi, perhatianku beralih ke luar kaca jendela. Headphone yang sebelum berangkat tadi telah aku persiapkan, ku keluarkan dari dalam tas dan mulai ku putar playlist dari ponsel, Someone like you_Adele, mengawali beberapa deretan lagu setelahnya. Dari luar jendela, tampak hamparan sawah dengan hektaran padi yang menguning, sekilas mirip gurun pasir di padang tandus dengan oasenya di kejauhan. Sesekali juga terlihat lahan kosong yang hanya ditumbuhi semak belukar, sungai yang mengalir menuju samudra Hindia, serta barisan bukit yang berjejer seperti prajurit perang. Aku terbuai pada sebuah lamunan yang membawaku seolah berlarian bebas di tengah hamparan itu, seperti masa kecil yang pernah aku lewati dulu.

     Aku terhenyak ketika temanku membuat kembali tersadar dari lamunan, ternyata kerata telah sampai di stasiun Kutoarjo. Seketika aku langsung bergeras mengemasi barang bawaan dan beranjak turun dari kereta untuk kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan bus jurusan Cilacap ataupun Purwokerto. Singkat cerita, setibanya di perempatan Sakalputung (demikian orang-orang menyebut tempat tersebut) aku sudah di jemput oleh Pak Zainal, babehku. Sementara temenku lebih memilih untuk jalan kaki karena rumahnya tak jauh dari tempat kami turun.

     Sore menjelang petang, sembari melepas lelah aku kembali ngobrol dengan babeh di teras rumah, perbincangan kami tidak jauh menyoali seputar perjalanan pulangku tadi, soal kuliahku yang sudah mencapai tahap akhir namun belum juga mulai menyentuh sebuah tugas akhir yang disebut-sebut sebagian besar mahasiswa adalah tugas keramat.  Selepas shalat magrib, aku dan tiga orang teman SMAku bertemu di rumah salah seorang dari mereka setelah beberapa hari sebelumnya kami melakukan perjanjian . Ya, sebenarnya inilah alasan utama kami untuk pulang ke Gombong, yaitu untuk menengok sahabat kami yang baru saja kehilangan ayah tercintanya.

     Dari SMS boardcast yang aku terima dari salah seorang teman dua hari yang lalu, diberitakan bahwa penyebab kematiannya adalah karena kecelakaan. Sebuah berita duka yang sangat menusuk dada, untukku, untuk teman-teman yang pernah satu kelas, dan untuk keluarganya. Dan kenyataan yang paling sulit diterima adalah bahwa dia kini telah kehilangan kedua orang tuanya. Ibunya, telah meninggalkan keluarga tercintanya sejak 3 tahun yang lalu, saat kami masih duduk di SMA, aku sendiri hadir di acara pemakamannya. Masih terbayang di ingatanku ketika dulu ibunya harus meninggalkan dia, tangisnya pecah ketika aku dan teman-teman datang kekediamannya. Perasaan harus seketika itu menyelimuti seluruh tamu yang hadir. Ya, tidak berbeda denganku, hatiku bergetar ketika mencoba turut menyelami perasaanya. Bagaimana jika hal itu terjadi pada diriku sendiri? Pada kalian?. Sekarang, yang ada tinggal dia dan kakaknya saja, dua orang kakak beradik yang harus kehilangan kedua orang tuanya sebelum mereka bisa mandiri. Walaupun kakaknya sekarang telah bekerja, namun dia belum memiliki keluarga yang mampu menguatkan dirinya ketika harus terpuruk. Sementara dia sendiri (temanku) masih berjuang untuk menyelesaiakan bangku kuliahnya, sama halnya denganku.

     Gerimis mulai turun perlahan, seolah ikut hadir mengikuti bacaan surat Yasin dan Tahlil yang kami baca bersama para warga setempat, hingga sampai pada sesi terakhir sekitar satu jam setelahnya. Satu persatu para warga mulai berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, hingga yang tersisa hanya kami berlima; aku, dua temanku, dia, dan kakaknya. Sembari menunggu gerimis yang belum juga reda, kami habiskan malam dengan ngobrol. Sekitar satu jam kami bercengkrama satu sama lain, gerimispun reda, lantas aku berpamitan untuk kembali pulang karena esok aku harus kembali ke jogja.

     Temaram lampu malam di sepanjang jalan alternative kota gombong mengantar kepulanganku kembali ke rumah, berjuta rasa haru masih saja singgah di dalam dada ketika teringat akan nasib temanku. Aku, hanya bisa berdoa dalam hati, semoga dia senantiasa di kuatkan dan di mudahkan jalan hidupnya.

         Dan kibasan angin sedikit menenangkan perasaanku malam ini.           

Komentar

Posting Komentar

Boleh berkomentar... :)

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu