Dari pelosok kota kecil di Jawa Tengah
Akhirnya, rencana pulang ke kampung halaman kesampaian juga, walaupun cuma 2 hari 2 malam namun cukup untuk mengobati kerinduan. Selasa siang menjelang sore kami (aku & Jeck) bergegas menuju ke teminal Giwangan dengan bluesonic ku. Rencana pulang memang sudah kami agendakan dari jauh-jauh hari, mengambil kesempatan di libur minggu tenang menjelang UAS selama satu minggu, namun karena masih ada beberapa kegiatan kampus yang harus kami ikuti jadi terpaksa mengabil hari Selasa. Jeck, panggilan akrab Zakariya, teman satu kamarku selama sudah lebih dari 2 tahun menempuh bangku kuliah, sama-sama dari pelosok desa di kota Gombong, teman yang pertama kali aku kenal setelah tak lagi di sekolah dasar, sama-sama mengayuh sepeda melawan siluat mentari di pagi hari, teman ngelayab ku ketika malam minggu, dan kami sering nginep bergantian ketika esok hari dipastikan libur sekolah, sekarang sudah lebih dari 8 tahun aku mengenalnya. Teman terhebat yang pernah aku kenal. Lulusan terbaik sewaktu di SMA, lantas pernah menyandang predikat IP paling sempurna, 4. Hebat bukan?? Itu saja masih belum cukup untuk menggambarkan betapa hebatnya dia di mataku. Urusan rohani? tidak perlu di tanyakan, dia pemegang SKI di jurusannya. Manusia super sibuk sodara-sodara, jadi bagi kaum hawa yang mengharapkan dirinya mohon untuk lebih bersabar, karena tak pernah terucap sedikitpun darinya menyinggung masalah wanita. Bukan karena homo, tapi dia lebih konsen pada kuliah dan organisasinya. :)
Baiklah, kembali ke awal cerita. Sampai di terminal ternyata belum masuk waktu Ashar, jadi kami duduk-duduk di ruang tunggu beberapa saat menunggu waktu Ashar tiba. Selesai shalat kami langsung naik ke bus jurusan Jogja-Purwokerto. Singkat cerita, sampai di Gombong ba'da Magrib. Tak banyak kegiatan yang aku lakukan setibanya di rumah, hanya perbincangan kecil bersama bapak ibu, menanyakan kabar selama aku meninggalkan rumah. Mbah Suwuh, tetangga sebelah, penjual pecel keliling yang memulai usahanya jauh sebelum aku lahir, legenda pengusaha di kampungku, dikabarkan telah meninggal dunia.Sekarang tak ada lagi orang yang meneruskan usaha beliau, pecel mbah Suwuh kini tinggal kenangan. Semoga amalnya diterima allah SWT.
Melintas malam, pagi pun menjelang. Aku sempatkan berkunjung ke rumah mas Abas, bertemu dengan keponakan tercinta, Syafa dan Syifa. Hampir seharian penuh aku habiskan waktu untuk bermain bersama mereka, sampai-sampai pas aku izin pulang Syafa merengek ingin ikut pulang.
"besok kan masih sekolah?",
"ikut lilik, ikut lilik, ikut lilik!!!",
"trus besok siapa yang ngater sekolah?",
"ya lilik....",
"&%%%*&&%......besok lilik ga bisa, mau kerumah temen lilik, ngambil titipan",
"arrrgghh....", dia merengek.
"ya udah, nanti malem di jemput sama dedek ya....", (tentunya sm bpknya juga).
"ya....", jawabnya penuh semangat.
Hari kedua, seperti rencanaku sebelumnya, aku main ke rumah Jeck, ada sesuatu yang akan dia titipkan sebelum aku balik ke Jogja, rumah kami jaraknya tidak terlalu jauh karena hanya tetangga desa yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai. Setibanya di depan pintu rumahnya, aku tak perlu mengetok pintu dan hanya mengucapkan salam karena ternyata sudah di sambut Jeck yang tengah molor di sofa ruang tamu, sebuah buku tergeletak di atas kepalanya, tampaknya dia terhipnotis oleh baris-baris kata dari buku itu, ditambah lagi dengan derai nada sendu yang keluar dari sound laptopnya, terang saja kalau dia demikian, padalah ini masih pagi. :D
Aku membangunkannya dengan suara lirih, takut dia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Belum berhasil aku membangunkannya, dari arah ruang tengah muncul seorang wanita paruh baya, mamahnya, ternyata beliau lebih peka mendengar bisikan lirihku. hahahaha..... Langsung saja aku menyapa beliau dan menjulurkan tangan kanan mengajak bersalaman. Baru setelah mendengar perbincangan kami, Jeck dapat tersadar dari pengaruh hipnotisnya. Setelah ngobrol dari utara ke selatan, aku izin untuk pulang, sebenarnya tidak langsung pulang menuju rumah, aku sempatkan muter-muter Gombong dulu, membeli ini itu titipan ibu sembari melepas kerinduan pada kota tercinta. hehehe..
Aku membangunkannya dengan suara lirih, takut dia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Belum berhasil aku membangunkannya, dari arah ruang tengah muncul seorang wanita paruh baya, mamahnya, ternyata beliau lebih peka mendengar bisikan lirihku. hahahaha..... Langsung saja aku menyapa beliau dan menjulurkan tangan kanan mengajak bersalaman. Baru setelah mendengar perbincangan kami, Jeck dapat tersadar dari pengaruh hipnotisnya. Setelah ngobrol dari utara ke selatan, aku izin untuk pulang, sebenarnya tidak langsung pulang menuju rumah, aku sempatkan muter-muter Gombong dulu, membeli ini itu titipan ibu sembari melepas kerinduan pada kota tercinta. hehehe..
Waktu di tengah jalan aku melihat sosok yang tak asing bagiku, sosok yang pernah aku kenal, topi, sepeda, dan gerobak biru itu masih tergambar jelas di memory otakku. Ah, bapak penjual cilok langgananku dulu, akhirnya aku bertemu kembali dengan beliau, tak banyak yang berubah darinya setelah hampir 10 tahun lebih semenjak aku meninggalkan sekolah dasar, kecuali warna cat gerobak yang terlihat baru, aku salut dengan keteladanan beliau, konsistensi terhadap perjuangan menjual cilok demi mencari sesuap nasi bagi keluarganya, meskipun keriput kulit dan tulang pipinya telah tergambar jelas di wajahnya. Tubuhnya masih tegak mengayuh sepeda butut melitas terpian jalanan desa-desa, menuju keramaian tempat anak-anak suka berkumpul, mengharapkan adanya rasa tertarik dari mereka tehadap barang julanannya.
![]() |
Aku masih mengenalnya |
"Pintenan saniki ciloke? (berapaan sekarang ciloknya?)", aku memulai perbincangan.
"Lha sampeyan badhe tumbas pinten?", beliau berbalik tanya.
"Nek sewu angsal pinten, pak?"
"Sewu nggih angsal 7", jelasnya.
"nggih sampun sewu kemawon, tesih wonten hadiah jagunge mboten, pak?", tanyaku penasaran, mencari tahu apakah masih berhadiah seperti dulu.
"saniki sampun gantos kacang mas....menawi angsal kacang, mangke angsal cilok 2 saking kulo."
"owh, sampun gantos to pak saniki, nggih... nggih...nggih...", aku mengangguk.
"badhe pedes mboten?", beliau kembali bertanya.
![]() |
Rp 1.000,- dapat 7 tusuk :) |
"nggih...."
Setelah selesai melayani pelangganya (aku.red), beliau pun lantas bergegas mengayuh kembali sepedanya. Menuju sebuah sekolah dasar yang tak jauh lagi di depannya. Aku sengaja mengukuti beliau di belakang menuju sekolah itu, baru setelah sampai aku bergegas melanjutkan perjalanan. Sampai ketemu lagi pak tua, jika masih diberi kesempatan, aku masih ingin merasakan cilok buatanmu. :)
Over all, dari hasil survei muter-muter keliling kota, tampaknya tak ada perubahan besar dari kota Gombong, masih seperti dulu. Demikian halnya dengan kampung halamanku, tak banyak berubah, akses jalan utama yang masihlah dari batu kerikil dengan pohon Swietenia mahagoni yang berderet di tepinya, hanya saja sekarang tampak lebih rimbun dan hijau. Berjajaran pula tamanan Oryza sativa menghampar luas di kedua sisi jalan bak padang sabana, memberikan hiburan tersendiri bagi mereka yang melintasinya. Dari kejauhan, barisan pegunungan tampak mengelilingi luasnya hamparan hijau tersebut. Pemandangan khas yang hanya dapat di jumpai di daerah-daerah agraris seperti kampung halamanku.
![]() |
Swietenia mahagoni |
![]() |
Pepadian yang menghampae luas
![]() Dikala senja Gombong tampak di kejauhan Ketika fajar menjelang di halaman rumahku |
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)