Di ujung tahun ini
Sabtu pagi di akhir tahun. Masih seperti biasa, tidak ada yang terlihat berbeda dari biasanya, menikmati pagi dengan hanya dari dalam kamar ukuran 3x3 meter. Udara dingin masih terasa menyisik dari sela-sela pintu kamar yang terbuka sedikit demi sedikit, dinginya perlahan mulai menghilang oleh radiasi segelas teh hangat yang kuteguk. Ditemani dengan alunan musik pengugah semangat aku mulai menyusun rencana hari ini. Namun sebelum jauh melepas angan-angan, aku teringat ajakan temenku Yoga kemarin sore, dia rencananya mau mengajakku untuk kembali jadi volunteer, namun karena langit sore tidak bersahabat, kami terpaksa membatalkan niat baik itu, hujan dan petir menyambar-nyambar kota Jogja sore kemaren.
Deras hujan yang turun membuat sebagian orang cemas dan was2, sebagian mereka khawatir dengan keadaan warga di sepanjang bantaran Sungai Code. Ya, beberapa hari ini sungai2 di daerah Jogja mengalami luapan lahar dingin dari Gunung Merapi, lumpur pekat bercampur material pasir menerjang perumahan warga, memaksa mereka untuk sementara mengungsi ke tempat yang lebih aman. Jembatan-jembatan yang menyebrangi Sungai sebagian ditutup oleh pihak polisi, akan sangat berbahaya jika tetap nekad melintasinnya, ujar mereka. Sebenarnya, semua ini masih ada kaitannya dengan bencana Merapi yang terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Meskipun sampai hari ini status merapi telah diturunkan menjadi waspada, namun dampak Merapi masih tetap mengancam.
Sedikit share tentang kejadian Merapi, tanggal 30 Oa=ktober 2010 Gunung Merapi melepaskan isi perutnya, sekitar jam 12 malam gemuruh suaranya terdengar mengaung-ngaung jelas dari kontrakanku yang notabenya erjarak sekitar 30 km. Awalnya aku mengira itu adalah suara petir biasa, namun salah seorang teman memberi tahu bahwa suara itu adalah suara letusan gunung merapi, sontak aku langsung keluar ke pelataran untuk mendengarkan lebih seksama, dan ternyata benar, suara itu bukan suara petir, asumsiku secara cepat berubah pada Merapi. Pagi hari, pukul 6.00 aku keluar, dan pemandangan sekitar berubah total, daun-daun dan atap rumah merubah warna abu-abu, tak ketinggalan motorku yang aku parkir di depan pun ikut menerima dampaknya, abu tebal menyelimuti sebagian besar Yogyakarta menjadikannya seperti kota mati.

Aku, seharian penuh berada di dalam kamar karena enggan untuk kelur menerjang lapisan debu2 tebal. Sampai pada malam harinnya, aku mulai berpikir, sebagai seorang mahasiswa tidak seharusnya aku tetap diam di dalam kamar. Akhirnya aku berniat untuk ikut menjadi relawan membantu para pengungsi, ya meskipun tidak banyak yang bisa aku lakukan, tapi setidaknya ada sedikit kucuran keringatku yang mampu hanyut mengurangi penderitaaan mereka. Tiga hari aku menjadi relawan di dua tempat yang berbeda, sehari di Maguwoharjo, dan dua hari di Caturharjo, Sleman. Hampir tidak ada kegembiraan sama sekali yang terlihat dari raut wajah mereka, membuatku tertegun dan memilih untuk tetap diam selama di sana. Hanya sesekali bersaut kata dengan para relawan yang lain, berkordinasi menentukan kegiatan selanjutnya.
Berkaca dari semua kejadian ini, semoga kita semua tetap tabah menerima cobaan dari Sang Kuasa. Bukankah Allah telah mengatakkannya pada kitab-kitabnya? Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan.
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)