Tentang Idealisme
Malam kini kembali datang, hampir sampai pada sepertiga malam, namun mata ini belum juga terpejam. Udara dingin pun mulai menyentuh kulit ari, berbisik perlahan di sela rambut halus seolah ingin saling bertegur meramaikan kesunyian. Sementara aku masih memandangi layar kaca yang berpendar, temanku telah menemukan kedamaian dalam tidur lelapnya, dengan sesekali menghempas-hempaskan udara dari hidung, suarannya semakin menjadi-jadi dan kini telah berubah alunan melodi, menghapus kesunyian. Aku bs memakluminnya, karena teman sekamarku ini adalah manusia hebat, yang setiap harinya hampir tak ada moment untuk memanjakan mata. Pagi hari, ketika yg lain msh dimanjakan oleh mimpi dia telah bersiap pergi, sampai malam menjelang dia baru kembali pada naungan. Ya, itulah teman terhebatku disetiap 24 jam yang dilaluinnya. Lain waktu aku ceritakan kenapa dia begitu hebat di mataku...
Beberapa saat tadi, sebelum dia benar-benar menemukan singgasananya. Bersama beberapa teman kontrakan yang lain kami sempat saling berdikusi, berawal dari celetukan salah seorang teman yang menceritakan pengalamannya saat di kampus. Dia mengangkat topik yang membuat kita tertarik untuk mengulas dan mencari informasi lebih jauh lagi, karena kebetulan ada fasilitas internet maka kita bersama-sama browsing tentang topik tersebut. Diskusi pun semakin terasa hangat ketika salah seorang teman menekankan dengan tegas sebuah artikel yang membuat kita tercengang, kagum, takjub, sekaligus menelan ludah kita sendiri. Karena tanpa kita sadari sebelumnya, fenomena yang kami temukan ini telah mengakar di sekeliling kami menjadikan kita semakin was-was.
Sebagai seorang mahasiswa yang di tuntut memiliki sebuah idealisme, nampaknya fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kami yang masih mencari "tangga" untuk beranjak sampai pada sebuah puncak yang kami tuju. Di dalam kehidupan kampus yang bisa diibaratkan seperti berada dalam sebuah toko toserba, dimana apa yang ingin kita cari telah tersedia, bahkan tak jarang para pelayan telah menawarkan sebuah barang pada kita tanpa harus bersusah payah mencarinya, namun tanpa kita ketahui apakah barang tersebut adalah benar-benar barang yang kita butuhkan. Bagi mahasiswa seperti kami, pengalaman adalah sebuah barang berharga yang tidak bisa ditukar dengan mata uang manapun, pengalaman bisa membuat kami kenyang tanpa harus memikirkan makanan.
Disinilah kami dihadapkan pada sebuah tuntutan, menjadi mahasiswa beridealisme yang harus bisa bertahan di tengah terjangan arus. Dan pada akhirnya, kita diminta untuk segera menemukan "tangga" yang kami butuhkan. Hal ini menjadikan kita memilih jalur instant tanpa harus memikirkan efek dalam jangka panjang. ( ko malah jd ky mie instant ya?? "_" )
Seirama dengan pembahasan mengenai topik tadi, maka berbagai macam jalur tersebut ternyata telah tersedia "di depan pintu" dengan beraneka warna dan rupa serta beraneka rasa di dalamnya. ( tlg jgn diasumsikan makanan, hhe )
Dari diskusi kita yang panjang dan lebar kita mencoba menyimpulkan bahwa mahasiswa sudah seyogyanya menemukan jati diri yang berlandaskan pada idealismenya masing-masing. Tak jarang idealisme yang kita miliki tidak sesuai dengan apa yang orang lain miliki, dan kembali pada persoalan menemukan jati diri, idealisme tidak seharusnya menjadi ajang "saling mempengaruhi" karena pada dasarnya adalah sebuah kebebasan masing-masing individu. Apapun idealisme yang kita anut semestinya kita bisa menjaga idealisme kita masing-masing tanpa harus ada kekhawatiran idealisme ini akan hilang, karena selama kita masih bisa menikmati hidup maka idealisme akan tetap ada. Dan selama itu berada pada jalan kebenaran, tidak ada hal yang harus d'pertentangkan.
Selanjutnya saya kembalikan pada anda mengenai kebenaran idealisme, karena hal ini membutuhkan banyak pemahaman yang mendasar untuk dapat mengartikannya....
Komentar
Posting Komentar
Boleh berkomentar... :)