Sepotong Rindu dari Tanah Rantau


     Saya harus tetap menulis, sesibuk apapun. Itu yang pernah saya janjikan pada diri sendiri. Agar tangan ini, paling tidak, mengerti apa yang dirasakan hati. Maka saya tulis ini, dalam kesibukan saya. Ehm, bukan sibuk sebenarnya, hanya saja selama ini ada yang lebih prioritas daripada menulis. Tanggung jawab pekerjaan. Apalagi yang bisa dilakukan untuk 'membunuh' segala rindu selain menenggelamkan diri dalam pekerjaan? 

     Saat ini tak terasa sudah masuk bulan ke sepuluh saya  berada di tanah rantau. Semestinya sudah ada banyak hal yang bisa saya dapatkan, namun kenyataanya tidak. Selama ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di site office dari pagi hingga malam. Duduk di depan layar komputer atau terjun ke lapangan melihat progress pekerjaan. Jenuh atau bosan tentu saja sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Beruntung di sini teman-teman sebagian besar memiliki hobi yang sama, futsal. Setiap minggu sore, jika tidak ada halangan yang berarti, kami rutin menyalurkan hobi. Sekedar merenggangkan otot dan memanjangkan tarikan nafas.

   Di sini tidak banyak tempat menarik yang dapat dikunjungi, jika pun ada, itu membutuhkan waktu berjam-jam dari tempat kami. Jika memiliki waktu senggang, kami bisa pergi ke tempat-tempat tersebut dengan menyewa mobil pribadi atau menggunakan bus umum. Sebagai sebuah tempat yang sedang berkembang memang tidak dapat disamakan dengan kota besar lainnya. Namun, jika hanya sekedar mencari keperluan sehari-hari di sini dapat dikatakan lengkap. 

      Warga masyarakat yang tinggal di sekitar kebanyakan adalah para pendatang seperti saya. Mereka datang dengan alasan mencari pekerjaan untuk hidup yang lebih layak, mereka beranak-pinak dan pada akhirnya menetap. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah, seperti Mba Erna (asisten cuci baju) yang datang dari Hulu Kapuas, Mba Cici (office girl) yang berdarah Dayak, Bu Martini (juru masak) yang datang dari Madura, Pak Bambang (driver) yang 'japon' atau Jawa-Pontianak, Daeng Udin (logistik) yang keturunan Bugis, dan Pak Rony (supervisi readymix) yang berwajah oriental dari Balikpapan. Mereka semua, meskipun memiliki latarbelakang yang berbeda toh dapat hidup berdampingan secara damai. 

Mbah Sumarno

     Usianya telah masuk masa senja, 90 adalah angka yang tidak sedikit untuk perhitungan umur manusia, kulit tubuh yang tak lagi terlihat segar, uban yang menutupi seluruh kulit kepala, jenggot putih yang dibiarkan tumbuh panjang, dan gigi yang tak lagi setia di gusinya menjadi saksi dan bukti perjalanan dalam hidupnya. Namun itu semua bukan menjadi alasan bagi beliau untuk meninggalkan sholat berjamaah di Masjid yang jaraknya cukup jauh dari kediamannya. Saat adzan belumlah usai berkumandang seringkali saya lihat beliau sudah duduk di shaf paling depan. Saat orang-orang seperti saya, yang notabene memiliki kekuatan fisik lebih kadang bermalas-malasan, beliau seolah menampar keras untuk menyadarkan. Dengan berjalan sendiri atau kadang diantar oleh cicitnya beliau datang ke Masjid.           

      Mbah Marno, panggilan akrabnya, adalah contoh kaum pendatang yang telah lama menetap di sini. Beliau bercerita, beliau adalah transmigran asal Temanggung Jawa Tengah yang datang ke Pontianak puluhan tahun silam. Dimasa mudanya, beliau merantau untuk bekerja sebagai tukang bangunan pada pembuatan landas pacu pesawat dan pembuatan parit Jepang yang tembus ke sungai Kapuas. Ketika saya coba berbicara menggunakan krama inggil, beliau masih fasih menimpali dengan krama inggil, bahasa aslinya masih mengakar kuat meskipun telah lama meninggalkan tanah kelahirannya. Saya mulai kagum ketika beliau bercerita panjang lebar tentang pengalaman hidupnya. Menurut saya, beliau adalah manusia yang telah selesai dengan urusan duniannya. Sahabat-sahabatnya telah lama pergi mendahului menemui Sang Pencipta, pun dengan belahan jiwanya sang istri tercinta. Saat ini teman setia satu-satunya yang menemani kemanapun beliau pergi adalah tongkat kayunya.   

     Di usia beliau yang telah senja, indranya masih berfungsi dengan baik, pendengarannya tak terganggu sedikitpun, penglihatannya masihlah tajam, beliau berbicara dengan penuh semangat. Saya mulai penasaran, apa rahasiannya sehingga beliau mampu seperti demikian. Kalian tahu kira-kira apa yang beliau sampaikan? Saya mendengarkan dengan hikmad, mengiyakan petuah-petuahnya, dan berkata dalam hati, apakah saya bisa melakukan?
     
    Dan segala kisah perjalanan hidup,
    Pada akhirnya akan menjadi sebungkus rindu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Menyapa Gede-Pangrango (catper part 4)

Untuk Sebuah Nama