Kapur Sirih Ramadan


Pontianak, Beberapa hari menjelang Ramadan 1437 H

     Perlu waktu cukup lama untuk memikirkan apa yang ingin saya tulis, tema apa yang akan saya tulis, untuk siapa tulisan saya tujukan, bahkan sekedar untuk merumus kata-kata. Sepertinya saya telah kehilangan minat menulis saya, cukup sampai di sini dan tak akan lagi pusing dan bersusah payah untuk menyusun kata. Namun, sekali lagi, sebagai manusia yang dikaruniai rasa, saya merasa masih ada yang kurang jika hanya meluapkan perasaan-perasaan saya secara lisan. Masih belum tuntas. Itulah sebabnya, seringkali saya meluapkannya melalui sebuah tulisan. Sejatinya banyak yang ingin saya ungkapkan, apa saja tentang perasaan saya, namun tidak memiliki lawan bicara yang pas dan cocok, yang mampu memberikan feedback berupa nasihat, hikmah, atau dorongan moril. Anehnya, justru saya yang sering dijadikan “tempat pembuangan unek-unek” oleh sebagian teman kerja. Mulai dari urusan kerja, keluarga, sampai urusan asmara. Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, di bagian mana saya ini mirip dengan Mamah Dedeh dan Mario Teguh? Jika persoalannya adalah nasihat-menasihati, sejujurnya saya lah yang lebih pantas untuk di nasihati.

     Ohya, hanya dalam hitungan beberapa hari lagi seluruh Muslim di dunia akan bertemu bulan Ramadan. Bulan yang penuh hikmah, keberkahan, pengampunan, dan banyak lagi keistimewaan lainnya. Sebagai seorang Muslim, saya, yang kadar keimanannya bak kurva sinusoida dan ilmu agamanya masih sangat dangkal, pun merasa perlu untuk menyambut bulan suci tersebut dengan gembira. Itu artinya kesempatan untuk kembali memperbaiki diri kian terbuka. Bersyukur karena Allah masih mengijinkan saya  menghirup udara hingga saat ini. Sejujurnya saya adalah seorang hamba yang seringkali lalai dan tidak tahu diri.

   Bagi saya bulan Ramadan kali ini mungkin akan terasa sedikit berbeda dengan Ramadan sebelumnya dan akan menjadi pengalaman pertama. Jika Ramadan sebelumnya saya menjalaninya di Jakarta, namun Ramadan kali ini insha Allah saya akan menjalaninya di luar Jawa. Dengan suasana dan orang-orang baru, mudah-mudahan Ramadan kali ini saya bisa menjalani dengan lebih khusyuk.  

   Tentang pencapaian dalam hidup, saat ini saya masih menjadi seorang pejuang. Memperjuangkan apa yang saya cita-citakan, mempertahankan apa yang telah saya capai, menjalani apa yang sudah digariskan, dan tentunya mensyukuri atas apa yang telah Allah berikan. Boleh dikatakan, atau setidaknya menurut saya, Allah sedang membuka ladang kesabaran bagi saya, seperti apa hasil yang saya dapat tergantung dari bagaimana saya dalam menjalaninya. Sabar untuk menerima ketetapan, sabar untuk menunggu kepastian. Perkara sampai kapan harus bersabar menurut saya itu tidak begitu penting, karena yang lebih penting adalah sejauh apa persiapan saya bila kepastian itu datang. Saya yakin, Allah tidak akan membiarkan doa-doa berceceran begitu saja.

     Di lain sisi saya tidak pernah memikirkan bagaimana orang lain menilai saya, menurut saya rumus bahagia yang paling mudah adalah dengan bersyukur dan selalu berusaha menjadi manusia bermanfaat. Mungkin menjadi baik itu mudah, hanya dengan duduk diam tidak melakukan apa-apa kita sudah bisa dianggap baik. Namun untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain butuh perjuangan. Saya bukan tipikal orang yang aktif dalam berkegiatan sosial, juga kurang tertarik dengan gerakan-gerakan pejuang kemanusiaan. Saya lebih suka lingkup yang lebih kecil, mulai dari keluarga dan orang-orang di sekeliling saya. Menjadi bermanfaat bagi mereka, setidaknya lebih memaknai kebedaraan saya. Sekali lagi, menjadi baik dan bermanfaat adalah pilihan masing-masing orang.

      Marhaban Yaa Ramadan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu