Mahameru



       Entah sudah berapa banyak tulisan-tulisan yang menceritakan tentang salah satu gunung tertinggi di pulau jawa, Semeru. Baik catatan perjalanan yang ada di blog maupun yang sudah terangkum rapi dalam sebuah buku. Sepertinya, dan mungkin memang, Semeru tidak akan pernah habis dimakan zaman untuk terus digali cerita-ceritanya. Bagi mereka yang hidup diperiode tahun 60an, cerita tentang Semeru sangat lekat dengan sosok Soe Hok Gie, seorang aktifis dan Malapa UI yang membekaskan namanya di puncak Mahameru, menyisakan sejuta misteri tentang kematiannya yang sampai saat ini masing menjadi bahan perbincangan.

       Bagi saya sendiri, mengenal Semeru (sebelumnya) hanya dari buku-buku novel yang mengangkat tentang eksotisitas gunung tersebut, seperti novel 5cm karya Donny Dirgantoro dan Tahta Mahameru karya Azzura Dayana. Dari novel tersebutlah gambaran mengenai rupa Semeru mulai tersusun di dalam imajinasi saya. Perlahan mulai tampak begitu riil wajah Semeru. Tentang apa yang mereka ceritakan soal Ranu Pani, Ranu Kumbolo, Kalimati, Arcopodo, dan Puncak Mahameru. Semeru yang damai sekaligus penuh misteri.

       Bayangan itu jugalah yang pada akhirnya menjadi sebuah mimpi dan harapan. Bahwa suatu saat saya ingin berkunjung kesana, entah kapan. Pertanyaan itu terus mengaliri setiap pikiran saya. Sampai pada suatu waktu, salah seorang teman menyampaikan keinginan yang sama. Tak disangka, keinginan yang saya kira hanya sebuah hasrat pribadi ternyata mendapatkan respon positif dari teman-teman, AVANTE khususnya. Maka, potongan-potongan keinginan pribadi tersebut lalu membulat menjadi sebuah agenda bersama, mendaki Semeru.

      Setelah mendapatkan restu dari orang tua, menjelaskan secara detail maksud dan tujuan saya kesana, Alhamdulillah turun sokongan dana dari Bapak, lebih dari cukup untuk bisa pulang kembali sampai Jogjakarta. Sejujurnya, ada perasaan canggung ketika mengajukan “proposal” pengajuan dana kepada beliau, kesadaran pada diri sendirilah yang menjadikan perasaan canggung itu muncul, bahwa semestinya saya bisa membiayai sendiri keperluan pribadi saya ini. Sebagai rasa hormat dan balas budi kepada beliau, maka perjalanan nanti akan saya dedikasikan khusus untuk beliau yang telah berbaik hati memberikan restu berupa doa dan dana.

    Pada perjalanannya, nyata dan benar adanya, Semeru menyajikan panorama menakjubkan yang akan sulit dilupakan. Ranu Pani dengan keramahan danau dan masyarakatnya, Ranu Kumbolo dengan kedamaiannya, Oro-oro ombo dengan padang luasnya, Kalimati dengan gemuruh angin yang membahana, serta Mahameru dengan sejuta pesonanya.


“Seketika itu aku tertegun,
Setelah menaiki bukit yang cukup menguras tenaga di Cemoro Kandang,
Rasa takjub membuncah,
Melihat sosok Semeru yang tegak berdiri,
Gagah di atas hamparan ilalang dan edelweiss,
Awan putih berarak melewati puncaknya dalam selimut langit biru,
 Disini, di Kalimati, aku duduk sendiri di bawah pohon Cantigi,
Sesekali angin berhembus menyapa sela-sela bajuku,
Sementara panas terik matahari menerobos dedaunan cemara, jatuh dikulit tanganku.”

Kalimati, 15/9/2012
13.20 WIB

Kalimati



“Di atas puncak ini,
Kusaksikan matahari bangun dari tidurnya,
Awan putih menggumpal menyelimuti cakrawala,
Udara begitu dingin,
Menjadikan embun-embun mengkristal di atas bebatuan.
Tubuhku mengigil, tersengat dingin yang tak mampu terhalang jaket tebal,
Di atas puncak Mahameru ini,
Kulepaskan kekalutan,
Hanya damai yang ku rasakan.” 



Puncak Para Dewa
Sebuah Persembahan


In Memoriam


Tanjakan Cinta
Mengambil wudlu di Ranu Kumbolo


Oro-oro Ombo
Patrikan dalam hati





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu