Malam Munajat Nasional

Masih dengan kebiasaan-kebiasaan yang sama, make a deal and let's move, ketika tadi malam mendapatkan sms burung tentang adanya Malam Munajat bersama Cak Nun, Kyai Kanjeng dan Tausiyah dari Ust. Hidayat Nur Wahid yang digagas oleh salah satu pantai politik keagamaan, Keadilan Sejahtera, acaranya sendiri bertempat di selasar gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Tanpa pikir panjang dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk membuat deal, kami memutuskan untuk turut memeriahkan penampilan dari kedua tokoh nasional tersebut. Toh, acaranya bebas uintuk semua kalangan jadi tidak perlu harus repot-repot memakai baju serba putih dan kopiah. Dengan pakaian seadanya namun tetap sopan aku melenggang ke sana, sementara temanku berpakaian lebih rapih ala anak santri, peci hitam ternyata telah dia persiapkan di saku bajunya. Meskipun pada kenyataanya mayoritas hadirin adalah simpatisan PKS sendiri. No matter. Aku juga bagian dari mereka sehingga tak perlu merasa minder, aku menghibur diri.  

Suasana meriah dan riuh sayup-sayup terdengar di telinga ketika beberapa ratus meter lagi kami sampai di lokasi, sepanjang jalan Solo sudah dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi berplat nomor luar kota dan di sisi lain terdapat beberapa bus yang terparkir di bahu jalan, juga dari luar kota. Sementara ada beberapa orang berompi bertuliskan "Pandu Keadilan" di punggungnya hilir mudik tampak mengatur kendaraan-kendaraan yang akan parkir. Keadaan semakin riuh meriah ketika Cak Nun naik ke panggung. Moment yang telah di tunggu-tunggu oleh kami semua, beliau memberikan beberapa ceramah pembuka guna menghangatkan suasana kemudian dilanjutkan dengan satu nomor yang dibawakan oleh Kyai Kanjeng, sebuah grup musik etnik yang telah melanglang buana ke berbagai negara di dunia, membawakan melodi-melodi tentang kehidupan sosial, agama, sampai dengan budaya. Sedangkan kami hanya melihat perform mereka dari balik pagar, mengingat padatnya tempat disana dan terpaksa kami harus terus berdiri jika ingin melihat ke arah panggung karena tempat yang tidak memungkinkan, namun hal tersebut tak mengurangi semangat kami. Karena dengan posisi yang demikian, kami justru dapat melihatnya lebih dekat dari panggung.

Sebelumnya orang-orang mungkin berpikir, bagaimana mungkin Kyai Kanjeng dapat di undang oleh PKS dalam satu panggung? Bukankah hal ini telah merusak peta perpolitikan Indonesia? Mengingat keduanya berasal dari basis yang berbeda?

Nanti akan sedikit aku uraikan tentang makna yang dihadirkan dari acara ini, dan mungkin anda akan merasa heran ketika ada seorang pendeta dari Gereja Al Masih Semarang yang duduk satu panggung dengan Cak Nun, Kyai Kanjeng, Bpk Hidayat Nur Wahid, Bpk Lutfi Hasan Ishaaq, serta para petinggi PKS. Tapi itu nanti, sekarang aku akan siap-siap kuliah padi dahulu...oke? Tobe Continued... 

*lanjutan... :)


Baiklah, singkat waktu, sampailah pada sebuah sesi dialog, tepatnya saling bertukar tausiyah, dimulai oleh Ustadz Hidayat Nur Wahid. Beliau menyapa para hadirin yang duduk menghadap panggung, para ikhwan di sisi utara sementara akhwat berada di sisi selatan, mereka terpisahkan oleh sebuah hijab panjang yang membentang dari depan hingga ke belakang. Di sisi-sisi sampingnya pun masih banyak hadirin yang berdiri, mereka-mereka ini yang tidak kebagian tempat duduk, termasuk kami yang berada di balik pagar. Dengan pembawaan yang tenang penuh sopan santun dan tampak sangat berwibawa, beliau bertausiyah panjang lebar mengenai peran dan posisi partai berlambang padi dan kapas yang terbelah tersebut, tentang bagaimana kepedulian partai terhadap bencana yang selama ini menimpa berbagai wilayah di Indonesia hingga kondisi di negara Palestina.


Dan tiba pada gilirannya, Romo, sebutan pendeta tersebut, untuk menyampaikan "tausiyah"nya. Aku cukup heran dengan beliau, sedemikian beraninya datang seorang diri penuh percaya diri pada sebuah forum yang bukan "habitat"nya, berceramah di hadapan sedemikian banyak simpatisan. Namun, ditengah ceramahnya rasa penasaranku pun terjawabkan, beliau menjelaskan maksud dan tujuannya, mengutarakan kegundahan dalam dirinya selama ini sebagai seorang Kristiani mengenai peristiwa di Pandeglang dan Temanggung. Baiklah, kami sebagai seorang Muslim sekarang dapat memahami betapa rumitnya persoalan ini, dan kini telah jelas persoalannya. Saling memahami satu sama lain ternyata adalah suatu hal yang selama ini telah luput dari perhatian kita semua. 


Usai sesi tausiyah, Kyai Kanjeng kembali menghadirkan nomor-nomor andalannya, urat syaraf kami pun kembali mengendur mendengar lantunan-lantunan merdu dari para penyanyinya. Menyanyikan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia yang di remix ke dalam satu frase, amazing....  Dan ada satu hal yang membuat mataku terus terpaku, seorang wanita paruh baya berkulit putih, mengenakan gamis hitam berkerudung abu-abu corak bunga yang dari tadi duduk manis di atas panggung, sekilas aku pernah melihatnya di layar televisi. Ya, dulu aku pernah melihatnya di sinetron yang mengisahkan kehidupan sebuah keluarga sederhana dari tanah parahyangan, abah berprofesi sebagai penarik becak sedangkan emak seorang penjual gorengan. "Keluarga Cemara", dan Novia Kolopaking. Tak salah lagi, wanita itu adalah artis Indonesia yang pernah tenar saat aku kecil dulu, dan sekarang tampak masih muda. Kini beliau adalah seorang istri dari seniman dan budayawan Emha Ainun Najib yang akrab disapa Cak Nun. 


Masih sangat jelas di memoriku, mengenai joke-joke dari Cak Nun yang banyak mengkritisi kehidupan sehari-hari kita sebagai makhluk sosial. Semisal ketika ada serombongan jamaah sholat di sebuah masjid yang mana imam sholatnya adalah kaum Nahdiyin sementara makmumnya adalah kaum Muhammadiyah, beliau mengatakan, karena imamnya sudah sangat akrab kepada Tuhannya maka sholatnya pun sambil menggaruk-garuk pantat, sedangkan makmumnya, karena sangat cinta kepada Tuhannya maka sangat khusyuk dalam melakukan setiap gerakan sampai memutar tangannya beberapa kali saat takbir. Dan masih banyak lagi candaan-candaan khas beliau yang membuat kami semua tertawa.


Momen Kebersamaan
Tak terasa aku sudah berjam-jam berdiri di tempat yang sama, mungkin karena sangat khusyuknya mengikuti rangkaian acara tersebut dan tidak ingin kehilangan satu moment pun. Baru sekitar pukul 23.00 tiba pada acara terakhir, penutup. Cak Nun meminta seluruh hadirin yang datang untuk berdiri, dengan diiringi musik dari Kyai Kanjeng kami diminta bersama-sama menyanyi lagu "Kemesraan". Aku melihat Ust. Hidayat Nur Wahid ikut larut dalam kebersamaan. Dengan ditutup doa dari beliau, acara Malam Munajat kali ini pun diakhiri. Merupakan sebuah Amazing Moment bagi diriku. :)     

Komentar

Posting Komentar

Boleh berkomentar... :)

Postingan populer dari blog ini

Libur Lebaran dan Moment Hidup Syafa

Kamu, Petrichor Itu